Sabtu, 25 Mei 2013

Tweet War : Bukan Karakter Bangsa



Sebenarnya topik kita kali ini tidaklah sesempit perang tweet di twitter, namun di era twitter ini penulis lebih banyak menemukan "perang-perangan" di twitter, jadi bisa dilihat sendiri fenomena ini layak disebut tweet war. Apakah pernah mengalami perang dingin di dunia maya? Atau pernah melakukannya?
Atau pernah jadi korbannya? Pernah melihat followers nge-tweet sesuatu yang menjurus pada sebuah sindiran untuk seseorang? Atau ngeliat dua orang saling update tweet sindiran dan saling menjelekkan? Lalu mungkin temennya yang lain membantu? Sejujurnya penulis pernah melakukan ini kepada mantan teman, bahkan juga 3x status war di facebook. Namun penulis punya alasan yang kuat untuk melakukan itu demi kebaikan mantan teman yang penulis cederai dengan tweet war. Sepertinya kita ada di zaman modern namun kelakuan manusianya seperti di zaman pra-histori. Dibawah ini penulis akan berfokus dalam mengaji tiga model tweet war yang sering ditemukan penulis dibawah ini

Contoh kasus pertama :




sumber : http://chirpstory.com/li/80754

Sangatlah tidak pantas adanya jika sesuatu yang tabu itu jadi bahan korespondensi dalam mengkritik. Lebih parahnya lagi hal tersebut diabadikan dan menjadi konsumsi publik. Tentunya hal tersebut juga mencederai dari fungsi kritik itu sendiri yang membangun. Mungkin oknum-oknum seperti orang yang ada dalam display gambar contoh kasus yang penulis tampilkan diatas itu perlu mempelajari bagaimana cara memberikan kritik yang baik, selayaknya mempelajari apa yang dipelajari anak-anak Sekolah Menengah Atas.

Contoh kasus kedua :
Ini pengalaman orang, dimana salah satu temannya nge-tweet sebuah sindiran. Lalu dikomentari manusia lainnya. Komentar yang ada pastinya bukan komentar baik. Lalu mereka bermention ria untuk menyindir suspectnya. Sebenernya dalam hal tersebut tidak ada yang bisa menjamin bahwa tweet itu untuk dirinya yang merasa. Namun orang ini punya banyak alasan untuk meyakini semua orang bahwa itu tweet penyindiran untuk dirinya. Pernah merasakan hal tersebut? Atau justru jadi pihak penyindir? Biasanya alasan klasik untuk pihak-pihak penyindir adalah itu tweet bukan buat suspectnya. Kalau dengar argumen itu, antara ketawa dan kesal pastinya, pastinya omongan seperti itu sudah pasaran. Hampir semua orang beralasan seperti itu saat ditanya pihak tersindir tentang keabsahan tweet sindiran itu.

Dalam hal ini, sebenarnya penulis menilai bahwa hal ini bukanlah karakter bangsa kita. Hal ini menunjukan bahwa kebanyakan dari kita yang pernah melakukan itu belum dewasa. Penulis juga menyadari hal ini dikala waktu lampau, namun apa daya saya tidak ingin memberikan harapan lebih pada mantan teman itu, dan juga mempertimbangkan kondisi pemikirannya yang sedikit berbeda dari khalayak umum, yasudah, lebih baik dibubarkan saja. Tweet war juga akan berdampak pada lingkungan followers kita, yang mana ketika kita meng-update banyak sindiran buruk dijejaring sosial itu bisa berdampak buruk atas pencitraan diri kita terhadap orang yang membacanya. Saat orang membaca tweet sindiran itu sekali dua kali mungkin masih 'enak'. Tapi kalau ngetweet setiap hari untuk menyindir orang, lama-lama yang baca juga pasti 'enek'.

Contoh kasus ketiga :

Kalau tweet sindiran itu ambigu, juga bisa membuat beberapa orang yang baca jadi merasa. Seperti salah satu teman, sebut aja si A yang ngetweet yang jelek-jelek dan temannya yang lain sebut aja si B jadi merasa. Lalu si B marah-marah ke si A dan minta penjelasan tentang tweet itu. Si A bingung kenapa si B bisa merasa. Akhirnya si A harus buat klarifikasi ke banyak orang termaksud ke si B. Tentunya ini hal yang melelahkan, kita harus seperti itu hanya karena tweet war? Hohoho.. We should think again before make some tweet war. Belum lagi kalo ternyata si A malah marah dan bilang si B ke-PD-an, lalu si B tidak menerima kalau dibilang ke-PD-an, lalu si A dan si B jadi ribut. Banyak lagi pencitraan negatif akibat tweet war atau tweet sindiran.

Apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari hal tersebut? Mau beralasan itu akun jejaring sosial pribadi? Kowe Sopo? Atau lakum diinukum wa liyaddiin? Memang benar jika akun itu milik kita, dan kita bisa mengatur sesuka hati apa yang akan kita sampaikan atau tampilkan, dan memang benar juga apa yang disuguhkan itu adalah dari dunia kehidupan kita. Namun seyogyanya jika kita melihat siapa diri kita sebenarnya, maka tidak akan ada alasan lagi untuk itu. Kita sudah cukup dewasa untuk memikirkan itu. Bukannya sok Hero atau Munafik, namun ini masalah etika dan karakter bangsa, apakah sebagai seorang bangsa Indonesia pantas melakukan bullying model baru seperti tweet war? 

Dalam perenungannya sebelum penulis menuliskan dan membagikan tulisan ini di blognya, penulis sadar untuk berkata tidak akan lagi melakukannya. Hargailah hak orang lain yang memfollow kita, jangan sampai mereka risih dengan apa yang kita suguhkan di tweet-tweet kita. Namun jika tweet itu diabadikan di Chirpstory, setidaknya kita telah memberikan korespondensi yang baik dalam sebuah kritik, hal ini tentunya terkait dengan etika kita juga, sebagai bangsa yang luhur sudah sepantasnya juga kita memahami aturan-aturan yang ada, baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

Kalaupun jiwa besar kita terus memaksa kita untuk menyindir, mungkin kita harus mengkonversikan sindiran yang tidak enak itu menjadi quote yang lebih mendorong untuk perubahan. Dari pengalaman penulis, quote memiliki efektifitas yang baik untuk mengkritik seseorang. namun jika emosi sudah diubun-ubun, baiknya langsung menghubungi orang yang bersangkutan, kalau ingin marah langsung saja sama suspectnya, karena cara itu lebih elegan dan manusiawi dari pada harus ikut-ikutan budaya luar yang tidak jelas dan jelas tidak bagus juntrungannya. Semoga tulisan di akhir pekan ini bermanfaat untuk kita semua. Akhir kata, penulis memohon untuk dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya dan seikhlas-ikhlasnya jika selama ini penulis pernah melakukan atau berkata sesuatu yang kurang elok dan menyinggung banyak pihak.

0 komentar:

Posting Komentar