Rabu, 01 Mei 2013

Buruh : Saat Dulu, Kini, dan Nanti

Sebelum membaca lebih jauh, saya akan mengajak pemirsa untuk mengetahui terlebih dahulu apa sih buruh itu. Menurut versi khalayak umum, orang yang disebut buruh itu adalah
orang yang kerja ototnya lebih banyak ketimbang kerja otaknya, kurang lebihnya seperti itu pendapat khalayak umum untuk pengertian buruh. Namun pengertian tersebut sebenarnya tidak tepat, karena sebenarnya orang yang bekerja menerima upah atau penghasilan dari orang lain, atau dari pihak kedua selaku pemberi kerja itu sudah termasuk buruh.

Lalu apa bedanya dengan orang yang bekerja sendiri dengan orang yang bekerja pada sebuah instansi negara? Mari kita bandingkan, orang yang bekerja diperusahaan miliknya sendiri, itu bukan lagi buruh, melainkan sudahg menjadi pengusaha, walau perusahaannya tidak ada tenaga kerja lain selain dirinya. Selain itu seseorang bekerja dengan pihak lain, namun pihak lain itu adalah negara, si pekerja merasa lebih keren bukan disebut sebagai buruh, mereka tidak mau dikelompokkan sebagai buruh, tapi lebih merasa terhormat bila disebut pegawai negeri. Begitu juga kalau orang yang bekerja di perusahaan milik negara, juga tidak mau disebut buruh, lebih suka disebut sebagai pegawai BUMN.Walau bekerja di pabrik, tapi kegiatannya memegang administrasi, bagian keuangan, bagian IT, bagian pembukuan, atau urusannya dengan tulis menulis, sedikit sekali menggunakan tenaga fisiknya,  lebih dominan untuk menggunakan otak dalam berpikir, kelompok ini juga enggan disebut sebagai buruh, lebih suka jika disebut  pegawai.

Ok, perbedaan dan pengertiannya sudah tau kan? Sekarang mari kita mainkan mesin waktunya. Doraemon.. Pinjam mesin waktunya ya..............


Yup.. Kita sudah sampai di masa penjajahan Belanda. Di masa ini, buruh dilakukan seperti budak, sangat tidak manusiawi dan sangat memprihatinkan kondisinya pemirsa. Memang literasi yang saya peroleh untuk menggali keterangan di zaman ini sangat sedikit, namun yang sedikit ini semoga bermanfaat dan jadi wawasan kita pemirsa. Jadi begioni Pemirsa literasi yang saya temukan di zaman meneer Van Den Berg berkuasa tentang perburuhan :

PENGOEMOEMAN !!!

DAG INLANDER... HAJOO URANG MELAJOE... KOWE MAHU KERDJA???
GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLU KOWE OENTOEK DJADI BOEDAK ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN-PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE.

DJIKA KOWE POENYA SJARAT DAN NJALI BERIKOET:
1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlandsch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak-pemberontak ataoepoen maling ataoepoen mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel.
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepoen ondernemer ataoe toean tanah ataoe baron eropah.
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes (tekun).

KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN DISANA KOWE HAROES DIPILIH LIWAT DJOERI-DJOERI JANG BERTOEGAS :

1. Keliling rawa Senajan 3 kali (Lari keliling senayan sebanyak 3 putaran)
2. Angkat badan liwat 30 kali ( Push Up lebih dari 30 kali)
3. Angkat peroet liwat 30 kali ( Sit Up lebih dari 30 kali)

Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en Meneer Atmadjaja
Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo (Kalimantan), Tanamera Batam, Soerabaja, Djakarta en Riaoeeiland (Riau).

Governement Nederlandsch Indie memberi oepah :
1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur (jam).
3. Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago.

Haastig kalaoe kowe mahoe...

Pertanggal 31 Maart 1889
Niet Laat te Zijn Hoor..
Batavia 1889



Onder de naam van Nederlandsch Indie Governor
Generaal H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij


Orang Indonesia dianggap sebagai Budak dan Centeng.  Kondisi pada saat itu soal perut adalah kebutuhan yang paling utama. Salah satu hal yang jadi daya tariknya adalah makan 3 x sehari dengan beras yang waktu itu digolongkan sudah cukup baik adalah dari Bangil. Berapa jam waktu kerja yang dibebankan kepada buruh perkebunan waktu itu belum jelas dan saya belum menemukan literasi yang menjelaskan tentang hal tersebut, tetapi yang jelas untuk waktu istirahat satu jam dengan gaji yang tidak dijelaskan dalam pengumuman tersebut. Berapapun jumlah gaji akan dipotong pajak 40%. 

Hal tersebut sejalan dengan Teori Fungsi Sosial tentang kemiskinan yang dikemukakakan oleh seorang sosiolog yang bernama Durkheim, yang mana dia menyatakan bahwa masyarakat yang terstruktur dan terdapat peran-peran dalam masyarakat yang tidak begitu penting untuk menjalankan masyarakat, sehingga hasil ini menjadi ketimpangan dalam masyarakat, oleh karena itu masalah ketidaksetaraan dan kemiskinan di masyarakat menurut Durkheim adalah hal yang wajar dalam masyarakat yang disebabkan oleh pentingnya peran individu. Ketidaksetaraan ditampilkan dalam hal ini adalah ketimpangan dalam masyarakat yang ditampilkan dalam hal tingkat pendidikan yang tercapai.

Untuk pembandingnya, Karl Marx juga membahas masalah ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat kapitalis. Menurut Marx masyarakat dalam bentuk masyarakat kapitalis memiliki dua kelompok orang, mereka yang memiliki alat produksi dan buruh. Menurutnya masyarakat kapitalis dicirikan oleh ketimpangan dimana kaum borjuis adalah orang-orang dengan kekayaan dan bahwa buruh bekerja untuk para pemilik kekayaan untuk menciptakan kekayaan. Mayoritas orang-orang dalam masyarakat menurut Marx miskin karena bentuk masyarakat kapitalis dimana hanya beberapa orang memegang kekayaan sementara yang lain tidak punya dan ini menjadi penyebab mengapa ada kesenjangan di masyarakat.

Ok, cukuplah dengan penderitaan itu, mari kita pindah ke zaman saat ini.

Dari Zaman Reformasi hingga sekarang ini, sebenarnya tidak jauh berbeda, saya generasi yang lahir di tahun 1990, dan tahu benar bagaimana malang melintangnya buruh di negeri ini dari zaman tersebut. Perlakuan sebagian majikan di zaman kinipun tidak jauh dengan zaman dulu, dimana buruh dianggap alat, bukan dianggap sebagai asset apalagi dianggap mitra, kalaupun sekarang ada perusahaan menganggap buruh sebagai mitra kerjapun juga harus dikaji ulang anggapan perusahaannya itu, jangan-jangan cuma modus aja. Soal perut juga adalah alasan utama yang memaksa kebanyakan orang menjadi buruh. Sementara pencari kerja tidak ada pilihan lain, dalam rangka mendapatkan urusan perut. Belum lagi sampai urusan sandang dan papan serta pemeliharaan kesehatan diri dan keluarga. Terjadilah kemiskinan terstruktur yang disebabkan kelalaian dalam pengaturan pengelolaan kekayaan alam di negeri ini.

Bagi buruh masa kini sama saja ketika bekerja di perkebunan milik Belanda, dengan bekerja di perusahaan milik pengusaha swasta sekarang ini, nasib buruh tetap saja seperti yang dahulu kala. Cita-cita pejuang kemerdekaan bangsa ini setelah merdeka keadaan buruh akan lebih baik, bekerja dengan bangsa sendiri  di negara sendiri akan lebih sejahtera daripada majikannya adalah penjajah, ternyata sampai hari ini belum tercapai juga. Seakan-akan hanya seperti pindah kontrakan saja. Pindah dari penjajah yang satu ke penjajah yang lain. Dulu penjajahnya adalah Belanda kini penjajahnya adalah Perusahaan Swasta. Buruh yang sekarang sedang bekerja memeras keringat, membanting tulang di perusahaan yang kebanyakan bukan milik pemerintah, melainkan milik swasta. Jika dipastikan dari struktur perusahannya, rata-rata perusahaan swasta pengusahanya juga dari pihak asing. 

Namun penulis percaya akan satu hal pemirsa, bahwa buruh sebenarnya punya keinginan untuk keluar dari lilitan perbudakan yang sistemik ini, dengan ingin berusaha sendiri dengan menjadi wiraswasta. Tapi di negeri ini jika seseorang ingin berusaha sendiri, membuat perusahaan misalnya, belum-belum sudah banyak pernik-pernik yang harus diselesaikan dengan pemerintahan. Untuk perizinannya juga merepotkan, usaha belum jalan sudah harus mengeluarkan banyak biaya. Oleh karena itu banyak anak muda yang sebaya dengan penulis ini di awal kehidupan setelah menamatkan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi, memilih melamar pekerjaan akhirnya jadi buruh, bukan menciptakan lapangan pekerjaan.

Mesin waktunya rusak pemirsa, jadi kita terawang aja ya gimana buruh nantinya ke depan.

Menurut penulis pribadi, jika semua perusahaan jadi milik negera maka seluruh buruh adalah pekerja pada negara yang tentunya akan lebih mudah untuk membuat ketentuan pengupahan dan kesejahteraan buruh termasuk jaminan hari tua mereka. Namun yang jadi sorotan kita adalah mengapa usaha-usaha vital tersebut malah diberikan wewenang kepada swasta? Bila sudah bicara swasta maka biasanya tidak jauh dari orang asing sebagai pemilik dan investornya, atau paling tidak orang Indonesia yang asalnya orang asing, bukan anak cucu pendiri Republik ini. Sampai saat ini orang Indonesia asal asing masih ada yang menganggap bahwa orang Indonesia asli tergolong masyarakat kelas dua yang belum layak diperlakukan sebagai mitra. Pantasnya yaaa... dihardik atau ditindas pemirsa.

Padahal di satu sisi, negara kita ini negara kaya, negara yang mempunyai potensi sumber daya alam yang besar. Jelas sekali hal ini di akui bangsa asing. Bahkan ketika saya konferensi di salah satu acara AIESEC pada tahun 2012 dahulu, ada seorang wanita cantik yang kebetulan dari luar negeri (mungkin dia sedang exchange) dan memberikan argumen kepada kami ketika kami berbdebat tentang isu keamanan dan hubungan perekonomian Internasional di kawasan ASEAN bahwa negara kalian itu negara kaya, jadi apa yang ada pada negara kalian itu dioptimalkan saja. Saat itu saya terperangah sejenak, dan berpikir serta berkata dalam hati, inilah sebabnya kenapa kita selalu ada dibawah negara lain, padahal negara kita ini kaya, pihak asing saja mengakui dan bahkan berlomba-lomba untuk rebutan buka perusahaan di Indonesia, dan bahkan sudah banyak juga yang mengakuisisi saham perusahaan multinasional Indonesia.

Untuk kedepannya, persaingan akan semakin ketat sekali, mengingat tahun 2020 negara yang ada di kawasan ASEAN terutama akan menerapkan sistem terbuka, yang artinya siapa saja bisa melakukan kegiatan apapun yang legal sesuai dengan nota kesepahaman dari negara satu ke negara lain. Misalnya, perdagangan, kemudian pendidikannya juga bersaing, dan kebutuhan akan tenaga kerja juga akan sangat ketat persaingannya dikarenakan akan bersaing dengan negara lain yang mempunya kompetensi SDM yang lebih unggul dan bahkan bisa jadi harga tenaga mereka bisa lebih murah ketimbang tenaga SDM dari negara kita sendiri. Bisa dibayangkan nanti berapa puluh juta orang yang akan kehiolangan dan tidak mempunyai pekerjaan sedangkan di negaranya banyak orang asing yang hiruk-pikuk bekerja dan orang-orang negara kita hanya menonton saja.

Apakah keadaan seperti itu yang kita inginkan? Penulis rasa, tentu saja tidak pemirsa. Bangsa ini terlalu luhur jika hanya dikotori dengan dijadikan negara yang kapitalis, bahkan lebih kapitalis dari Amerika dan Jepang. Menurut Prof. Rhenald Kasali, dalam twitternya beliau mengatakan bahwa di Amerika dan Jepang, masalah antara buruh dan pengusaha tidak sekeruh kondisi seperti di negara ini, padahal mereka adalah negara kapitalis, dan Prof. Rhenald menambahkan bahwa negara industri sadar akan pentingnya kesejahteraan buruh. Disinilah sumber masalahnya, kesejahteraan buruh di Indonesia masih belum terlalu signifikan dampak dari solusi yang diberikan. Contohnya Jokowi yang menerapkan Upah Minimum Regional di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 2.200.000,-. Tentunya jumlah tersebut bisa dibilang besar, namun yang terjadi adalah "pecah kongsi" pemirsa, antara pemerintah daerah dan bahkan provinsi dengan pengusaha-pengusaha yang mendirikan pabrik dan usahanya diprovinsi tersebut. Otomatis sekarang tertunda kenaikan UMR untuk para buruh dan yang ada tinggal hilang kepercayaan buruh terhadap Jokowi. Kasus Jokowi ini hanya sebagian kecil, dan penulis rasa ini juga terjadi di kota dan provinsi lainnya, tinggal masalah waktu saja yang akan mejawabnya.

Maka dari itulah pemirsa, kita harus mengingat kembali slogan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Hanya dengan Persatuan dan Kesatuanlah yang bisa menyelamatkan bangsa ini, dengan figur pemimpin yang mengayomi rakyatnya, bukan keluarga atau partainya, suka betindak cepat dan kebijakannya itu bersifat melindungi rakyatnya, bukan dengan suka pencitraan serta mengeluh atas hal-hal buruk yang menimpanya. Karena dari rasa persatuan dan kesatuan itu akan membentuk sense of belonging atau rasa saling memiliki antara satu dengan lainnya, yang nantinya akan menciptakan kebijakan yang rasional dan dapat diterima rakyat Indonesia. Dari kebijakan akan lahirlah sebuah sistem yang pro rakyat, disinilah letak awal perjuangan akan dimulai, menuju Asia dan menerobos Dunia. Semoga saja harapan kecil dari tulisan saya ini bisa terwujud kelak di kemudian hari ya pemirsa. Aamiin, aamiin, ya rabbal a'lamin. Salam perjuangan untuk kita semua. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!



0 komentar:

Posting Komentar