Selasa, 21 Mei 2013

15 Tahun Reformasi : Religiusitas Dalam Bingkai Politik & Ekonomi

Lima belas tahun silam pada tanggal 21 Mei 1998 terjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu Reformasi. Reformasi sendiri artinya mengubah, yang mana perubahan tersebut diharapkan menuju perubahan yang lebih baik. Karena sebelumnya perubahan yang ada dinilai hanya "menina bobokan" rakyat Indonesia dan berdampak pada krisis moneter di tahun yang sama. Tentunya dengan perubahan yang ada, dulu pengharapannya setinggi langit, namun kenyataan yang ada, pengharapan itu masih jauh dari kata baik dan benar. Masih banyak ditemukan tindakan yang melukai hati rakyat yang dilakukan para wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat. Seperti kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun dalam perkembangannya
politik itu tidak selalu harus berkawan sejati, namun juga tidak selamanya bermusuhan secara abadi. Semua bisa diatur demi "kepentingan bangsa" katanya. Yaitulah politik, sehingga timbul paradigma kalau tidak suka politik ya tinggalkan saja dan tidak usah lagi berpartisipasi dalam politik.

Jika dilihat perkembangan politik saat ini dari bingkai religiusitas hal ini sangat kompleks. Pasalnya jika dilihat dari partai-partai yang berlandaskan religi, belum bisa memberikan suatu geberakan yang berdampak pada masyarakat luas. Penulis melihat pada sekarang ini strategiu dan manuver dari partai yang berlandaskan religi itu banyak yang berkoalisi dengan partai yang berlandaskan nasionalis. Sehingga pada sekarang ini banyak muncul duet Nasionalis-Agamis. Menurut penulis yang telah melihat dan mengobservasi langsung kepada masyarakat, kebanyakan dari masyarakat lebih memiliki kecenderungan penerimaan terhadap calon dari nasionalis, namun untuk calon yang diusung dari partai agamis juga masih menjadi pilihan alternatif. Hal ini terjadi dikarenakan paradigma yang berkembang dalam masyarakat pada umumnya saat ini masih khawatir jika ada perubahan "sistem" pemerintahan jika partai agamis itu menang. Sebenarnya penulis juga heran mengapa paradigma itu sangat cepat perkembangannya dan itu seperti penyakit permanen yang belum ada obatnya, sekalipun ada partai agamis yang melakukan repositioning dengan mengubah jargonnya yang gahar menjadi jargon yang sedikit romantis.

Lain cerita dengan ekonomi saat ini, jika dilihat dari bingkai religiusitas, masyarakat saat ini merindukan sistem ekonomi yang mengutamakan win-win solution. Hal ini terjadi karena ada pengaruh yang besar terhadap pergerakan financial dalam masyarakat saat ini, yang mana terjadi ketimpangan pada peredaran uang di masyrakat. Di satu sisi memang inflasi yang ada saat ini berdampak besar pada pengusaha, namun jika dilihat kembali, ketimpangan terjadi pada distribusi uang itu sendiri. Ruang lingkup uang itu masih ada pada lingkup masyarakat menengah atas, dan belum bisa dirasakan pada lingku menengah kebawah. Itulah sistem konvensional, mereka memang melihat pertumbuhan itu terus bertumbuh ke depan, namun tidak melihat dampak dari sekitarnya. Pada akhirnya sekitanya hanya mendapatkan tetesan saja berupa sumbangan yang sekedarnya. Bukan berupa sumbangan modal untuk usaha yang bisa dipantau perkembangannya secara berkelanjutan. 

Dalam observasi penulis melihat masyarakat menilai ekonomi yang dilakukan pada umumnya yang secara konvensional masih belum bisa menjawab kebutuhan akan jasa dari lembaga keuangan yang sifatnya mengedepankan konsumen. Sehingga banyak yang beralih pada jasa dari lembaga keuangan yang berbasis syari'ah. Saat ini ekonomi syariah sedang mendaki gunung dan melewati lembah. Banyak hal yang harus diperbaiki dalam pelaksanaannya maupun dalam tata kelola menuju Good Corporate Governance. Secara pelaksanaannya, lembaga keuangan berbasis syari'ah masih berorientasi pada bisnis, belum bisa sepenuhnya mengedepankan kepentingan konsumen secara menyeluruh, atau dalam istilah syari'ahnya disebut belum mengedepankan fiqh muammalah. Hal ini terjadi karena lembaga keuangan seperti bank pada umumnya itu belum berani mengambil resiko terlalu besar atas jaminan uang yang mereka berikan pada masyarakat. Maka masyarakat juga perlu memahami benar dalam melihat kesepakatan dan akad yang akan digunakan pada saat berurusan dengan lembaga keuangan syari'ah.

Dalam hingar bingar dunia sekarang ini, penulis berusaha menyimpulkan dari beberapa hal yang bertolak belakang serta kompleks tersebut. Sebenarnya ada sebuah kerinduan dari masyarakat luas saat ini akan sebuah sistem yang sifatnya win-win solution, baik itu dalam politik, pendidikan, ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat sudah lelah dengan melihat kinerja sistem yang ada saat ini. Ketika kita bicara soal sistem, sebenarnya sistem itu sudah ada dalam kehidupan religius dari masyarakat itu sendiri, namun pada kenyataannya penulis masih melihat fenomena yang belum sejalan dengan aplikasi pada kehidupan sehari-hari. Seperti ada "doktrin" bahwa jika menggunakan label religi itu akan terjadi kesenjangan dan hanya akan mebatasi. Pada akhirnya semua kembali ke individu masing-masing, mau menciptakan perubahan atau mengikuti yang sudah ada itu merupakan hak dan pilihan masing-masing individu. Pada hakikatnya kebenaran itu sudah nyata, semua kembali pada sikap masing-masing individu dala mengisi kemerdekaan dan melakukan reformasi yang sebanr-benarnya untuk menghapus dosa-dosa reformasi di masa lampau. Masih banyak agenda reformasi yang belum tuntas, dan agenda itu ada dipundak kita sebagai generasi bangsa ini. Selamat Bereformasi, mari kita isi dengan perubahan nyata dan lebih baik secara berkelanjutan.

0 komentar:

Posting Komentar