Pasar Malam Gambir, adalah nama yang dikenal masyarakat luas pada waktu zaman dulu, pada saat diselenggarakan pada tanggal 13 Agustus 1898. Tujuannya
untuk memperingati
hari penobatan Ratu Wilhelmina. Rakyat banyak datang dan agenda pasar
malam gambir sukses berat. Kebesaran Pasar Gambir berpuncak pada tahun
1907 saat Van Heutz selaku gubernur Hindia-Belanda Timur mengadakan pesta besar, disana macam-macam
pertunjukan tonil ada, menurut buku Almanak, Hindia Belanda keluaran
1921, disebutkan bahwa pada tahun 1907 banyak sekali panggung-panggung,
ditengahnya ada ring tinju, lalu ada kembang-kembang gula untuk
anak-anak, ada lempar bola, ada olahraga ketangkasan, dan banyak orang
menjual pakaian.
Pasar Malam Gambir juga menjadi tempat untuk menunjukan eksistensi para pemuda-pemudi di zaman lampau. Biasanya mereka setiap sore menggunakan bendi atau mobil Ford T
berkeliling Gambir, kebanyakan adalah sinyo-sinyo Belanda ataupun pemuda
keturunan Tionghoa yang kaya raya. Pada malam harinya diadakan pertunjukan
lagu-lagu. Grup Tonil Miss Tjitjih juga pernah tampil disini. Pasar Malam Gambir sebagai Pasar Malam kesukaan orang Batavia dibubarkan ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1942. Menurut sejarah, pada tahun 1945 di lapangan Ikada ini pernah berkumpul
300.000 orang atau massa dari berbagai wilayah Jakarta dan tetangganya
seperti Tangerang dan Bekasi untuk menentang pemerintah Jepang.
Seiring dengan berjalannya waktu, Pasar Malam Gambir kembali bangkit, dimana saat Ali Sadikin mengajukan
ide Djakarta Fair (DF) pada tahun 1968, saat itu Ali Sadikin,
Djumatidjin dan Rio Tambunan naik Jeep keliling Monas untuk inspeksi
kebersihan, kemudian Ali Sadikin memberikan usulan agar Pemerintahan Djakarta
ada pemasukan anggaran daerah sekaligus mengenalkan Djakarta sebagai
kota yang ramah terhadap bisnis dan kota hiburan. Ali Sadikin ingin ada
semacam festival tahunan seperti di Perancis dan Inggris. Lalu
Djumatidjin asisten Ali Sadikin berkata seperti ini "Bagaimana kalau kita jadikan
Monas sebagai ajang Djakarta Fair" Ali Sadikin senang atas usulan itu.
Kemudian Ali Sadikin meminta seorang pebisnis sekaligus Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) pada saat itu yang bernama Syamsudin Mangan untuk
mengadakan Djakarta Fair, akhirnya dengan ide-ide dagang Syamsudin
Mangan, maka terlaksanalah Djakarta Fair pada tahun 1968. Sayangnya, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud
Syamsuddin Mangan dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat diadakan Djakarta Fair
1969 memecahkan rekor penyelenggaran PRJ terlama karena
memakan waktu penyelenggaraan selama 71 hari. PRJ pada umumnya berlangsung 30 –
35 hari.. Kemudian Presiden Amerika Serikat Richard Nixon sempat jalan-jalan ke area
Djakarta Fair tahun 1969. Sejak saat itulah Djakarta Fair menjadi bagian penting dalam sejarah kota Jakarta.
Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni. Sebuah yayasan yang diberikan nama Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. Sesuai Perda no. 8/1968 tersebut, tugas yayasan ini bukan hanya menyelenggarakan PRJ saja tetapi juga sebagai penyelenggara Arena promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ) yang dijadwalkan berlangsung sepanjang tahun.
Penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ini, dari tahun ke tahun mulai mengalami perkembangan pengunjung dan pesertanya bertambah dan bertambah. Dari sekedar pasar malam, bermutasi menjadi ajang pameran modern yang menampilkan berbagai produk. Areal yang dipakai juga bertambah. Dari hanya tujuh hektar di Kawasan Monas kini semenjak tahun 1992 dipindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area seluas 44 hektar yang dikelola oleh PT. Jakarta International Expo (JIEXPO).
Hal tersebut menjadi kontroversi, baik diranah masyarakat maupun anggota dewan. Pasalnya, JIEXPO menerapkan beberapa kebijakan yang "mencekik leher" baik masyarakat maupun kepada pihak yang melestarikan kebudayaan Betawi dan lebih mementingkan bisnis semata daripada menyeimbangkannya dengan pesta kesenian rakyat. dari yang dulunya disediakan lahan yang relatif murah untuk pedagang kerak telor, sekarang para pedagang kerak telor khas Betawi itu lebih memilih berjualan di luar arena PRJ dikarenakan kebanyakan mereka tidak sanggup membayar biaya sewa tempat yang ditetapkan oleh panitia. Tapi kenapa yang terlihat pameran otomotif dan salah satunya merk terkenal dan bergengsi seperti BMW.
Sebenarnya hal-hal tersebut seharusnya tidak terjadi lagi, karena dengan menyeimbangkan antara konsep kebudayaan dan melakukan kegiatan bisnis itu sebenarnya berbanding lurus. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Geoffrey dari Universitas Ottawa di kanada. Dalam teorinya dia mengemukakan bahwa, orang melakukan sebuah perjalanan pariwisata dikarenakan ada faktor yang mendorongnya seperti rasa keingintahuan orang itu akan suatu budaya di tempat tujuan wisatanya. Teori tersebut juga seharusnya menjadi landasan pengelola PRJ agar tetap melestarikan kebudayaan lokal walaupun ada motif untuk saling memenuhi kebutuhan antara pengunjung dengan penyedia barang dan jasa yang dijual di Bazar yang tersedia.
Dengan memperhatikan teori tersebut, setidaknya pengelola juga bisa memanfaatkan momentum PRJ dengan mendatangkan Usaha Mikro Kecil Menengah, yang nantinya mereka akan menjual barang dan jasanya kepada pengunjung agar perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tumbuh pesat dari keuntungan yang diperoleh selama PRJ di gelar. Disamping itu juga promosi kebudayaan dan hiburan setempat juga bisa dipromosikan untuk mendongkrak kunjungan wisata ke jakarta baik pada skala lokal maupun skala Internasional. Oleh karenanya mari kita dukung kebijakan kembalinya PRJ pada sejarahnya, agar generasi yang akan datang tidak buta akan asal-usul daerah yang dimana dia tinggal sebagai pusat peradaban yang mampu mendongkrak perekonomian dan budaya ibu kota Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar