Senin, 09 September 2013

Menyikapi Kebijakan Ekonomi Moneter

Dunia kembali diributkan dengan melonjaknya nilai tukar terhadap mata uang Dollar Amerika. Indonesia juga turut terkena dampak dari hal tersebut. Pasalnya, dalam satu tahun terakhir gejala akan terjadinya krisis sudah ditunjukan dengan meroketnya inflas karena stabilitas politik dalam negeri. Seharusnya dengan meroketnya inflasi pemerintah juga harus bersinergis dengan
hal itu dengan menjalankan program yang sudah dicanangkan seperti pembenahan infrastruktur yang masih jalan ditempat sampai saat ini, kemudian mendorong kegiatan ekspor yang masih terhambat regulasi yang ketat, serta belum terjaminnya kepastian dan ketegasan hukum atas kemungkinan penyimpangan yang sangat memungkinkan terjadi, yang mana hal tersebut diselenggarakan negara terhadap pemain dan pihak yang terkait dalam kegiatan perekonomian baik dalam skala makro maupun mikro.

Terkait dengan hal tersebut, penulis melihat Paket Kebijakan Ekonomi Moneter yang diterapkan pemerintah saat ini belum bisa menjangkau semua kepentingan yang ada dalam negeri ini karena bersifat jangka menengah, tidak bersifat jang pendek. Hal ini terjadi karena masih kurangnya komitmen dan konsistensi penerapan program dan kebijakan yang seharusnya dijalankan. Contohnya saja dalam kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM), dalam perkembangannya biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk impor BBM mencapai 360 Milyar per hari, jumlah ini tentunya sangatlah besar. Kebutuhan akan BBM di negara ini sangatlah besar, oleh karenanya Program Energi Terbarukan seharusnya akan menghasilkan 25% hingga tahun 2025 sesuai dengan target yang dicanangkan tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya banyaknya masalah berkaitan dengan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan mau tidak mau harus segera dimulai agar tidak telat dalam menerapkan EBT tersebut.

Baiklah, penulis juga melihat sebenarnya kebijakan Ekonomi Moneter yang diberlakukan pemerintah itu tidak selamanya buruk. Karena bangsa kita ini sudah terbiasa "mengkonsumsi". Coba sebutkan apa saja barang yang tidak kita impor? Kacang kedelai yang notabene untuk bahan baku produksi Tahu dan Tempe saja kita harus impor. Pada akhirnya kita harus membuat produsen menjerit dengan harganya dan akhirnya gulung tikar. Kemudian impor lagi yang sudah jadi, maka kata untung yang terucap untuk negara eksportirnya. Itu parahnya, yang mendingnya bisa kita lihat kasus karet. Kita ekspor keluar mentahnya, kemudian negara luar yang mengimpor ke negaranya melakukan produksi dan menjadikan karet itu menjadi ban yang bermerk dan berkualitas, kemudian negara importir karet itu mengekspor ban yang sudah dibuat dari bahan dasar karet yang di impor sebelumnya. Kalau itu kenapa mendingan? Karena sesuai dengan asas simbiosis mutualisme, dan sesuai dengan Teori Pemenuhan Kebutuhan dalam Ekonomi. Oleh karenanya tidak heran jika ada istilah Utara dan Selatan, yang mana Utara itu negara-negara maju yang minim Sumber daya Alam tapi bisa memberikan inovasi, dan Selatan itu isinya negara-negara berkembang yang mempunyai Sumber Daya Alam namun belum bisa mengoptimalkannya.

Impor, Impor, dan Impor. Nah, sekarang kita coba lihat ekspor, ekspor, dan ekspornya seperti apa. Proses ekspor negara kita ini belum sehebat impornya. Karena hal sebelumnya, bangsa kita ini sudah biasa dalam "mengkonsumsi" hal ini terjadi dari banyak faktor juga seperti regulasi dan birokrasi yang berbelit yang membuat UKM enggan untuk megekspor barang produksinya. Disatu sisi, barang yang diproduksi UKM sebenarnya telah memiliki pasar dan peminatnya sendiri. Walaupun laku itu relatif, karena masih berkutat dengan standar kualitas dari produk itu sendiri. Setidaknya harus ada geliat dari kegiatan ekspor jika Indonesia ingin dibenci bangsa asing. selama yang penulis dengar, para wisatawan yang investasi di Indonesia ini suka Indonesia bukan sepenuhnya karena panorama keindahan alamnya, namun karena kekayaan alamnya yang belum bisa dioptimalkan dan pada akhirnya mereka masuk untuk mengoptimalkan itu dengamn investasi klecil-kecilan. Kecil menurut mereka, namun besar menurut ukuran bangsa ini.

Pada akhirnya, mari kita semua mulai berusaha hidup secara mandiri dengan mengubah pola konsumsi kita berbasis diversifikasi. Diversifikasi ini bukan hanya pada konsumsi pangan saja, namun juga pada hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi harian pada umunya dengan mengkonsumsi produk bangsa sendiri. Kemudian selain diversifikasi, kita juga harus menggunakan transportasi publik. Kiranya dengan mengubah gaya hidup kita akan mendorong perekonomian dan menciptakan efisiensi pada kehidupan kita sekurang-kurangnya. Pemerintah juga harus mendukung hal ini dengan memperlambat aliran keran impor yang ada. contohnya kendaraan yang menjadi saran penting, kita sudah punya banyak ahli di negara ini. Cobalah berdayakan para hali itu untuk duduk dan bekerja bersama, agar perlahan kita bisa menutup pabrik dan perusahaan asing yang ada di negara kita seperti India yang sudah menutup pabrik dan showroom Honda dan Yamaha demi mengembangkan Bajaj. Selanjutnya, pemerintah juga jangan mengada-ngada atau bid'ah, bid'ah disini dalam artian pembangunan infrastruktur yang harusnya tidak diperlukan menjadi ada dan terbengkalai, yang akhirnya berpotensi menjadi ladang korupsi dan terkesan proyeknya untuk perut sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat lagi. Bangunlah infrastruktur yang sekiranya itu menopang pembangunan negara berkembang yang berkelanjutan. Kita tidak memerlukan hal-hal yang berbau dengan keglamoran dan gaya hidup kelas dunia, yang rakyat perlukan hanya sarana dan prasarana yang mampu menjawab kebutuhan akan keamanan dan kenyamanan dari infrastruktur yang diadakan oleh pemerintah. Kiranya hal ini bisa dikerjakan dengan bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa, baik dalam pengadaan dan pemeliharaannya yang berkala kedepannya.

0 komentar:

Posting Komentar