Pagi ini ada suatu konten viral yang
disebarkan oleh beberapa teman saya di akun media sosial yang mereka miliki. Saya melihat konten tersebut merupakan berita yang memilukan dengan judul "Ibu Ini Menangis Dagangannya Disita Saat Berjualan Siang Hari Bulan Ramadan.".
Sumber: Dokumentasi Kompas TV
Pasalnya berita
tersebut berisi tentang pedagang yang sedang dirazia oleh petugas Satpol PP karena
berdagang pada saat siang hari di bulan Ramadan di daerah Serang dan Lebak,
Provinsi Banten. Konten tersebut menimbulkan rasa iba pada diri saya pribadi. Pedagang
tersebut terlihat sedih dan begitu kebingungan atas perbuatan aparat yang
mengangkut makanan dari warung makannya.
Kemudian
setelah menyaksikan konten viral tersebut saya berpikir bagaimana nasib
pedagang tersebut jika sumber mata pencahariannya disita begitu saja dengan
adanya aturan yang tidak mengedepankan win-win solution?
Ramadan
hadir untuk melatih umat Islam demi menghadapi 11 bulan kedepan, bukan untuk memanjakan
umat Islam. Begitulah rata-rata para khotib berbicara saat awal ibadah sholat
tarawih saat esoknya baru akan mulai berpuasa. Di bulan Ramadan ini juga tidak
serta-merta Tuhan menginginkan HambaNya melewatkan seharian penuh dengan kelaparan
dan kehausan saja. Ada sesuatu yang ingin Tuhan berikan dengan memerintahkan hambaNya
yang beriman untuk berpuasa.
Saya
teringat lagu dari Bimbo yang berjudul Anak Bertanya Pada Bapaknya mengenai
kenapa harus berlapar-lapar puas, serta apa gunanya tadarus dan tarawih. Kemudian
liriknya berganti sebuah jawaban bahwa lapar akan mengajarkan untuk selalu
rendah hati. Kemudian gunanya tadarus adalah untuk memahami kitab suci dan
tarawih untuk mendekatkan diri pada Ilahi. Dari lagu tersebut juga sudah jelas
kalau Ramadan ini menginstruksikan orang beriman untuk mendalami segala aspek kehidupan
dalam sudut pandang spiritualitas yang diaplikasikan dengan berpuasa dari
terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Ini Indonesia, Negara Berbasis Pancasila, Bukan
Negara Beriklim Gurun, Bung!
Saya
heran dengan terbitnya surat edaran kebijakan yang melarang penjual makanan
untuk menjual makanannya pada siang hari saat bulan Ramadan dan kemudian
mentyita makanan penjualnya dengan semena-mena dengan dalih Instruksi dari Bupati
dan sudah ada Surat Edarannya. Jika memang pedagang itu tidak boleh berjualan di
siang hari demi menghormati bulan Ramadan. Lalu apa gunanya Ramadan hadir untuk
mendidik seorang hamba demi menghadapi sebelas bulan ke depan setelah bulan Ramadan?
Sedangkan saat Ramadan kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu melalui
puasa dengan harapan umat muslim bisa mengaplikasikannya selepas Ramadan dengan
puasa Sunnah Senin Kamis atau dengan berpuasa seperti Nabi Daud dimana satu
hari puasa dan satu hari berbuka puasa secara selang-seling setiap harinya
kecuali pada hari tertentu dimana diharamkan untuk berpuasa.
Saya
tergelitik untuk mengatakan kata sepakat pada pernyataan seorang penulis yang
bernama Ameera Al Hakawati dalam blog bahasa.aquila-style.com. Dia menuliskan
Suka dan Duka Ramadan di Dubai. Dia bercerita bahwa kota Dubai itu baru memulai
kehidupannya ketika menjelang adzan Maghrib berkumandang. Disisi lain, dia merasa
aneh dengan larangan makan ditempat umum selama puasa dan perbuatan tersebut
termasuk dalam kategori melanggar hukum. Hampir semua restoran di kota Dubai
tutup pada siang hari. Kalau ada yang buka, restoran tersebut hanya melayani
pelanggan dari kalangan manula dan anak-anak yang tidak berkewajiban untuk
puasa. Restoran dan kafe di Dubai baru memulai aktivitasnya selepas ashar. Dia
yang sebelumnya hidup di London tidak terbiasa dengan kondisi tersebut di kota
Dubai. Dia sebelumnya bekerja di kota London, Inggris. Dia justru sudah
terbiasa berpuasa ditengah orang-orang yang sedang makan. Dia menganggap hal
tersebut merupakan bagian dari cobaan bulan Ramadan serta elemen penting dalam
pengendalian nafsu.
Mengapa
saya bersepakat dengan pernyataan Nona atau Ibu Ameera? Saya sendiri mengalami
hal tersebut pada 11 bulan menuju bulan Ramadan. Saya terbiasa melakukan puasa
sunnah Senin dan Kamis di tengah restoran atau kafe yang dimana ada pembeli
yang meminta saya membawakan barang pesanannya dari barang yang saya jual
melalu pasar dari dunia maya secara daring dengan metode cash on delivery.
Si pembeli barang tidak jarang menawarkan saya untuk memesan makanan atau
minuman pada menu kafe atau restoran tempat kita bertemu. Saya dengan ringan
mengatakan tidak dan terima kasih. Kemudian selanjutnya saya mengatakan kepada
pembeli bahwa saya lebih suka melayani anda sebagai pembeli. Sampai pembeli
tersebut memberikan uangnya karena barang yang saya janjikan sesuai dengan
keterangan yang saya berikan. Bagi saya pada saat seperti itulah kerendahan
hati kita diuji dengan berpuasa. Kita bicara dengan pembeli dengan apa adanya
tanpa kita harus mengada-ada pada kondisi barang yang kita jual. Disamping itu kita
dengan sendirinya akan terbiasa dengan tidak mengatakan maaf saya sedang puasa.
Biarlah ibadah puasa yang kita lakukan itu hanya kita dan Tuhan yang
mengetahuinya. Pembeli tidak perlu tahu kita sedang menjalankan ibahda puasa
atau tidak. Toh, pada hakikatnya puasa itu yang menilainya secara langsung
adalah Tuhan.
Cerita
Ibu Ameera tersebut senada dengan cerita dari ayah saya yang pernah bertugas
sebagai penerjemah untuk perusahaan minyak swasta di negara Kerajaan Saudi
Arabia. Ayah saya bercerita bahwa di Arab Saudi sana, ekspatriat dapat
memperoleh makanan pada saat siang hari di bulan Ramadan jika dan hanya jika
ekspatriat tersebut ada di daerah khusus ekspatriat atau memiliki juru masak di
tempat menetapnya. Di Saudi Arabia, kondisi di siang hari sama seperti di Dubai
seperti cerita dari Ibu Ameera sebelumnya. Hal tersebut karena cuaca yang
sangat panas pada siang hari. Di Arab Saudi juga diberlakukan hukum serupa
seperti di Dubai bahwa makan ditempat umum pada siang hari saat bulan Ramadan merupakan
tindakan melanggar hukum. Jadi bagi muslim yang tidak sedang berpuasa sedang
dalam kondisi tertentu seperti musafir, sedang menyusui, sedang hamil, atau
sedang berhalangan, maka mereka juga dapat memperoleh Roti khas Arab di toko
kelontong yang menjualnya dan kemudian mereka bawa pulang ke rumah atau tempat
khusus musafir. Para musafir pada umunya dari negara di sekitar Saudi Arabia
yang sengaja datang untuk beribadah umroh saat bulan Ramadan dan pada umumnya mereka
juga berpuasa sambil beribadah umroh dan berbuka pada waktu setempat di Mekah.
Berdasarkan
dua cerita tersebut, saya mencoba untuk memberikan solusi bagi PEMKOT setempat yang
hendak menertibkan penjual makanan pada siang hari di bulan Ramadan semata-mata
karena saya peduli terhadap keberlangsungan hidup manusia yang berusaha
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berdagang. Serta tidak seharusnya barang
dagangan mereka tidak semena-mena disita begitu saja.
Solusi Untuk PEMKOT
Bagaimanapun
PEMKOT adalah pemimpin yang mewakili masyarakatnya. Terlepas apapun profesi
mereka PEMKOT sudah seharusnya membina, mengayomi, dan melindungi
masyarakatnya. Jika kebijakan tersebut diberlakukan pada saat bulan Ramadan
untuk menghormati orang yang sedang berpuasa, bisa saja peraturan itu
diberlakukan dengan cara yang berbeda. Tidak harus caranya dengan menyita
makanan yang dijual oleh pemilik warung makan dan kemudian tidak jelas nasib
makanan yang disita tersebut bagaimana. Apakah dimakan aparat terkait yang
menyitanya atau dikembalikan dalam bentuk modal uang oleh PEMKOT setempat, kita
tidak tahu. Seyogyanya, PEMKOT setempat melakukan observasi kondisi masyarakat
serta pengusaha warung makan terlebih dahulu dengan kajian dan riset sebelum
masuk bulan Ramadan dalam menentukan kebijakan yang setidaknya membuat semua
pihak merasa tidak dirugikan pada penerapan suatu peraturan.
Saya
mengapresiasi jika PEMKOT setempat sudah membuat kebijakan untuk pedagang
warung makan dengan memperbolehkan berjualan tetapi pembeli tidak diperbolehkan
untuk makan ditempat. Jadi pembeli makanan bisa makan di rumahnya masing-masing.
Kemudian bisa juga warung makan tetap buka namun menerapkan sistem pesan antar
kepada pembeli non-muslim atau muslim yang sedang tidak bisa berpuasa karena
dalam kondisi tertentu seperti sedang datang bulan, sedang hamil, dan sedang
menyusui.
Jika
pembeli makanan itu adalah musafir atau orang yang sedang melakukan perjalan
jauh dari kota lain, PEMKOT setempat bisa melakukan sosialisasi dan edukasi
pada pemilik warung makan terlebih dahulu untuk mengharuskan pembeli mengisi
data sesuai KTP yang dimilikinya. Dari data KTP tersebut penjual bisa
mengetahui pembeli tersebut apakah termasuk orang yang diperbolehkan untuk membatalkan
puasanya karena memenuhi syarat keringanan berpuasa atau tidak. Jika tidak
terpenuhi syarat memperoleh keringanan dalam berpuasa, maka penjual makanan
bisa menghentikan transaksinya dengan pembeli tersebut.
Jika
pembeli makanan itu sedang bekerja dan memiliki domisili sementara namun
pembeli tetap ingin membeli makanan yang ada, maka pembeli tersebut tidak boleh
makan di warung makan dan harus membawa makanan tersebut ke rumahnya dimana dia
berdomisili sementara. Jika pertimbangannya pembeli tersebut adalah seorang
muslim yang hendak membatalkan puasanya dengan alasan yang tidak memenuhi
syarat untuk membatalkan puasa. Maka si penjual harus membatalkan transaksinya untuk
menghindari maksiat bagi penjual dan pembeli yang ditimbulkan atas transaksi jual-beli
makanan tersebut walaupun terpenuhi syarat-syarat sah jual-belinya.
Pada
akhirnya kiranya ini hanya segelintir kecil solusi yang hendak saya tawarkan
kepada PEMKOT setempat yang hendak akan melakukan atau sudah melakukan
penertiban kepada warung makan yang berjualan pada siang hari saat bulan
Ramadan. Terlepas dari siapalah diri saya ini, yang mana saya hanya manusia
yang peduli pada penerapan Pancasila atas sila kedua, Kemanusiaan yang adil
dan beradab. Walaupun saya tahu bahwa saya bukanlah seorang Duta Pancasila yang
seharusnya menyampaikan tulisan ini. Saya hanya bagian kecil dari masyarakat
Indonesia. Semoga PEMKOT setempat lebih beradab dan lebih arif serta bijaksan lagi
dalam memberikan dan menjalankan kebijakan untuk masyarakatnya.
Catatan: Judul tulisan ini yang sebelumnya "PEMKOT Itu Tugasnya Menertibkan, Bukan Menyita Paksa!" saya telah menggantinya dengan judul "SATPOL PP Tugasnya Menertibkan, Bukan Menyita Paksa!" setelah mengecek isi Surat Edaran PEMKOT Kota Serang. Saya memohon maaf jika membuat kesalahan dalam judul sebelumnya yang saya buat. Mengingat pertimbangan saya yang biasanya menyaksikan SATPOL PP di instruksikan PEMKOT untuk merazia pedagang dengan cara menyita barang dagangannya.