Sabtu, 11 Juni 2016

SATPOL PP Tugasnya Menertibkan, Bukan Menyita Paksa!



Pagi ini ada suatu konten viral yang disebarkan oleh beberapa teman saya di akun media sosial yang mereka miliki. Saya melihat konten tersebut merupakan berita yang memilukan dengan judul "Ibu Ini Menangis Dagangannya Disita Saat Berjualan Siang Hari Bulan Ramadan.". 

 Sumber: Dokumentasi Kompas TV

Pasalnya berita tersebut berisi tentang pedagang yang sedang dirazia oleh petugas Satpol PP karena berdagang pada saat siang hari di bulan Ramadan di daerah Serang dan Lebak, Provinsi Banten. Konten tersebut menimbulkan rasa iba pada diri saya pribadi. Pedagang tersebut terlihat sedih dan begitu kebingungan atas perbuatan aparat yang mengangkut makanan dari warung makannya.
            Kemudian setelah menyaksikan konten viral tersebut saya berpikir bagaimana nasib pedagang tersebut jika sumber mata pencahariannya disita begitu saja dengan adanya aturan yang tidak mengedepankan win-win solution?

            Ramadan hadir untuk melatih umat Islam demi menghadapi 11 bulan kedepan, bukan untuk memanjakan umat Islam. Begitulah rata-rata para khotib berbicara saat awal ibadah sholat tarawih saat esoknya baru akan mulai berpuasa. Di bulan Ramadan ini juga tidak serta-merta Tuhan menginginkan HambaNya melewatkan seharian penuh dengan kelaparan dan kehausan saja. Ada sesuatu yang ingin Tuhan berikan dengan memerintahkan hambaNya yang beriman untuk berpuasa.
            Saya teringat lagu dari Bimbo yang berjudul Anak Bertanya Pada Bapaknya mengenai kenapa harus berlapar-lapar puas, serta apa gunanya tadarus dan tarawih. Kemudian liriknya berganti sebuah jawaban bahwa lapar akan mengajarkan untuk selalu rendah hati. Kemudian gunanya tadarus adalah untuk memahami kitab suci dan tarawih untuk mendekatkan diri pada Ilahi. Dari lagu tersebut juga sudah jelas kalau Ramadan ini menginstruksikan orang beriman untuk mendalami segala aspek kehidupan dalam sudut pandang spiritualitas yang diaplikasikan dengan berpuasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Ini Indonesia, Negara Berbasis Pancasila, Bukan Negara Beriklim Gurun, Bung!
            Saya heran dengan terbitnya surat edaran kebijakan yang melarang penjual makanan untuk menjual makanannya pada siang hari saat bulan Ramadan dan kemudian mentyita makanan penjualnya dengan semena-mena dengan dalih Instruksi dari Bupati dan sudah ada Surat Edarannya. Jika memang pedagang itu tidak boleh berjualan di siang hari demi menghormati bulan Ramadan. Lalu apa gunanya Ramadan hadir untuk mendidik seorang hamba demi menghadapi sebelas bulan ke depan setelah bulan Ramadan? Sedangkan saat Ramadan kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu melalui puasa dengan harapan umat muslim bisa mengaplikasikannya selepas Ramadan dengan puasa Sunnah Senin Kamis atau dengan berpuasa seperti Nabi Daud dimana satu hari puasa dan satu hari berbuka puasa secara selang-seling setiap harinya kecuali pada hari tertentu dimana diharamkan untuk berpuasa.
            Saya tergelitik untuk mengatakan kata sepakat pada pernyataan seorang penulis yang bernama Ameera Al Hakawati dalam blog bahasa.aquila-style.com. Dia menuliskan Suka dan Duka Ramadan di Dubai. Dia bercerita bahwa kota Dubai itu baru memulai kehidupannya ketika menjelang adzan Maghrib berkumandang. Disisi lain, dia merasa aneh dengan larangan makan ditempat umum selama puasa dan perbuatan tersebut termasuk dalam kategori melanggar hukum. Hampir semua restoran di kota Dubai tutup pada siang hari. Kalau ada yang buka, restoran tersebut hanya melayani pelanggan dari kalangan manula dan anak-anak yang tidak berkewajiban untuk puasa. Restoran dan kafe di Dubai baru memulai aktivitasnya selepas ashar. Dia yang sebelumnya hidup di London tidak terbiasa dengan kondisi tersebut di kota Dubai. Dia sebelumnya bekerja di kota London, Inggris. Dia justru sudah terbiasa berpuasa ditengah orang-orang yang sedang makan. Dia menganggap hal tersebut merupakan bagian dari cobaan bulan Ramadan serta elemen penting dalam pengendalian nafsu.
            Mengapa saya bersepakat dengan pernyataan Nona atau Ibu Ameera? Saya sendiri mengalami hal tersebut pada 11 bulan menuju bulan Ramadan. Saya terbiasa melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis di tengah restoran atau kafe yang dimana ada pembeli yang meminta saya membawakan barang pesanannya dari barang yang saya jual melalu pasar dari dunia maya secara daring dengan metode cash on delivery. Si pembeli barang tidak jarang menawarkan saya untuk memesan makanan atau minuman pada menu kafe atau restoran tempat kita bertemu. Saya dengan ringan mengatakan tidak dan terima kasih. Kemudian selanjutnya saya mengatakan kepada pembeli bahwa saya lebih suka melayani anda sebagai pembeli. Sampai pembeli tersebut memberikan uangnya karena barang yang saya janjikan sesuai dengan keterangan yang saya berikan. Bagi saya pada saat seperti itulah kerendahan hati kita diuji dengan berpuasa. Kita bicara dengan pembeli dengan apa adanya tanpa kita harus mengada-ada pada kondisi barang yang kita jual. Disamping itu kita dengan sendirinya akan terbiasa dengan tidak mengatakan maaf saya sedang puasa. Biarlah ibadah puasa yang kita lakukan itu hanya kita dan Tuhan yang mengetahuinya. Pembeli tidak perlu tahu kita sedang menjalankan ibahda puasa atau tidak. Toh, pada hakikatnya puasa itu yang menilainya secara langsung adalah Tuhan.
            Cerita Ibu Ameera tersebut senada dengan cerita dari ayah saya yang pernah bertugas sebagai penerjemah untuk perusahaan minyak swasta di negara Kerajaan Saudi Arabia. Ayah saya bercerita bahwa di Arab Saudi sana, ekspatriat dapat memperoleh makanan pada saat siang hari di bulan Ramadan jika dan hanya jika ekspatriat tersebut ada di daerah khusus ekspatriat atau memiliki juru masak di tempat menetapnya. Di Saudi Arabia, kondisi di siang hari sama seperti di Dubai seperti cerita dari Ibu Ameera sebelumnya. Hal tersebut karena cuaca yang sangat panas pada siang hari. Di Arab Saudi juga diberlakukan hukum serupa seperti di Dubai bahwa makan ditempat umum pada siang hari saat bulan Ramadan merupakan tindakan melanggar hukum. Jadi bagi muslim yang tidak sedang berpuasa sedang dalam kondisi tertentu seperti musafir, sedang menyusui, sedang hamil, atau sedang berhalangan, maka mereka juga dapat memperoleh Roti khas Arab di toko kelontong yang menjualnya dan kemudian mereka bawa pulang ke rumah atau tempat khusus musafir. Para musafir pada umunya dari negara di sekitar Saudi Arabia yang sengaja datang untuk beribadah umroh saat bulan Ramadan dan pada umumnya mereka juga berpuasa sambil beribadah umroh dan berbuka pada waktu setempat di Mekah.
            Berdasarkan dua cerita tersebut, saya mencoba untuk memberikan solusi bagi PEMKOT setempat yang hendak menertibkan penjual makanan pada siang hari di bulan Ramadan semata-mata karena saya peduli terhadap keberlangsungan hidup manusia yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berdagang. Serta tidak seharusnya barang dagangan mereka tidak semena-mena disita begitu saja.
Solusi Untuk PEMKOT
            Bagaimanapun PEMKOT adalah pemimpin yang mewakili masyarakatnya. Terlepas apapun profesi mereka PEMKOT sudah seharusnya membina, mengayomi, dan melindungi masyarakatnya. Jika kebijakan tersebut diberlakukan pada saat bulan Ramadan untuk menghormati orang yang sedang berpuasa, bisa saja peraturan itu diberlakukan dengan cara yang berbeda. Tidak harus caranya dengan menyita makanan yang dijual oleh pemilik warung makan dan kemudian tidak jelas nasib makanan yang disita tersebut bagaimana. Apakah dimakan aparat terkait yang menyitanya atau dikembalikan dalam bentuk modal uang oleh PEMKOT setempat, kita tidak tahu. Seyogyanya, PEMKOT setempat melakukan observasi kondisi masyarakat serta pengusaha warung makan terlebih dahulu dengan kajian dan riset sebelum masuk bulan Ramadan dalam menentukan kebijakan yang setidaknya membuat semua pihak merasa tidak dirugikan pada penerapan suatu peraturan.
            Saya mengapresiasi jika PEMKOT setempat sudah membuat kebijakan untuk pedagang warung makan dengan memperbolehkan berjualan tetapi pembeli tidak diperbolehkan untuk makan ditempat. Jadi pembeli makanan bisa makan di rumahnya masing-masing. Kemudian bisa juga warung makan tetap buka namun menerapkan sistem pesan antar kepada pembeli non-muslim atau muslim yang sedang tidak bisa berpuasa karena dalam kondisi tertentu seperti sedang datang bulan, sedang hamil, dan sedang menyusui.
            Jika pembeli makanan itu adalah musafir atau orang yang sedang melakukan perjalan jauh dari kota lain, PEMKOT setempat bisa melakukan sosialisasi dan edukasi pada pemilik warung makan terlebih dahulu untuk mengharuskan pembeli mengisi data sesuai KTP yang dimilikinya. Dari data KTP tersebut penjual bisa mengetahui pembeli tersebut apakah termasuk orang yang diperbolehkan untuk membatalkan puasanya karena memenuhi syarat keringanan berpuasa atau tidak. Jika tidak terpenuhi syarat memperoleh keringanan dalam berpuasa, maka penjual makanan bisa menghentikan transaksinya dengan pembeli tersebut.
            Jika pembeli makanan itu sedang bekerja dan memiliki domisili sementara namun pembeli tetap ingin membeli makanan yang ada, maka pembeli tersebut tidak boleh makan di warung makan dan harus membawa makanan tersebut ke rumahnya dimana dia berdomisili sementara. Jika pertimbangannya pembeli tersebut adalah seorang muslim yang hendak membatalkan puasanya dengan alasan yang tidak memenuhi syarat untuk membatalkan puasa. Maka si penjual harus membatalkan transaksinya untuk menghindari maksiat bagi penjual dan pembeli yang ditimbulkan atas transaksi jual-beli makanan tersebut walaupun terpenuhi syarat-syarat sah jual-belinya.
            Pada akhirnya kiranya ini hanya segelintir kecil solusi yang hendak saya tawarkan kepada PEMKOT setempat yang hendak akan melakukan atau sudah melakukan penertiban kepada warung makan yang berjualan pada siang hari saat bulan Ramadan. Terlepas dari siapalah diri saya ini, yang mana saya hanya manusia yang peduli pada penerapan Pancasila atas sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Walaupun saya tahu bahwa saya bukanlah seorang Duta Pancasila yang seharusnya menyampaikan tulisan ini. Saya hanya bagian kecil dari masyarakat Indonesia. Semoga PEMKOT setempat lebih beradab dan lebih arif serta bijaksan lagi dalam memberikan dan menjalankan kebijakan untuk masyarakatnya.

Catatan: Judul tulisan ini yang sebelumnya "PEMKOT Itu Tugasnya Menertibkan, Bukan Menyita Paksa!" saya telah menggantinya dengan judul "SATPOL PP Tugasnya Menertibkan, Bukan Menyita Paksa!" setelah mengecek isi Surat Edaran PEMKOT Kota Serang. Saya memohon maaf jika membuat kesalahan dalam judul sebelumnya yang saya buat. Mengingat pertimbangan saya yang biasanya menyaksikan SATPOL PP di instruksikan PEMKOT untuk merazia pedagang dengan cara menyita barang dagangannya.

0 komentar:

Posting Komentar