Sumber Gambar ; berita8.com
Di era kebebasan akses informasi sekarang ini, segala hal semakin mudah untuk diperoleh. Salah satu dari sekian banyak hal yang mudah diperoleh itu adalah informasi. Dengan genggaman dan sentuhan jari beberapa kali pada sebuah laya ponse pintar atau keyboard komputer kita sudah bisa memperoleh informasi yang kita inginkan. Hal ini tentunya semakin mendorong pihak yang menyediakan
informasi untuk terus memenuhi kebutuhan konsumennya dalam menyediakan informasi. Setelah terciptanya informasi, maka dibuatlah sebuah berita dan berita tersebut disebar oleh konsumen. Cara menyebarkannya juga sangat mudah, hanya dengan menekan tombol "bagikan" maka kita sudah bisa menyebarkan sebuah berita di media sosial yang kita miliki. Namun seiring dengan meningkatnya informasi yang beredar dan diterima konsumen untuk menjadi refrensi untuk berdialog, berdiskusi, maupun mengambil keputusan itu apakah sudah dapat menciptakan pemahaman kepada konsumen bahwa segala hal yang di terima konsumen itu merupakan suatu kebenaran atau sebuah pembenaran pada suatu hal? Sehingga mereka dapat memberikan reaksi yang beragam sehingga mungkin saja hal tersebut membuat media sosial makin diminati dan menarik untuk dikunjungi.
Media sosial adalah tempat bertemunya kita dengan banyak orang secara virtual. Baik itu yang kita kenal maupun yang belum kita kenal. Kita bisa membaur menjadi satu disana dengan siapapun. Ketika salah satu dari kita membagikan sebuah berita maka kemungkinan bsar akan mendapatkan tanggapan dari teman kita atau orang lain yang membacanya. Ketika tanggapan seseorang itu positif tentunya kita akan tenang dengan hal tersebut. Namun apabila tanggapan seseorang itu negatif, maka kita terkadang akan menjadikan orang tersebut sebagai lawan yang serius untuk ditaklukan. Padahal seharusnya jika terjadi seperti itu kita tidak harus menjadi seorang yang istilah sekarang itu PANASTAK/PANASBUNG DIE HARD. Kita hanya cukup menjelaskan apa yang menjadi inti dari berita dan pendapat kita. Jika orang tersebut menerima, maka selesailah masalah. Tapi jika tidak menerimanya, maka media sosial akan jadi arena debat kusir dan menciptakan permusuhan antara yang satu dengan yang lain. Sehingga munculah perang status, kemudian Twit War, dan bisa saja diakhiri dengan aksi saling pukul seperti beberapa waktu lalu yang terjadi di kawasan Senayan hanya karena saling menjelekan salah satu calon Presiden yang mana Calon Presiden juga hanyalah seorang manusia yang makan nasi dan punya kesalahan. Lalu bagaimana media sosial bisa menciptakan seseorang menjadi anti sosial?
Setidaknya sekarang ini saya baru menemukan dua faktor penyebab yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Diantaranya faktor psikologi dan faktor penyebar berita kurang kajian.
a. Faktor Psikologi
Pertama, saya bukan ahli psikologi, apalagi lulusan jurusan Psikologi. Saya hanya seorang introvert. Namun kelebihan seorang introvert salah satunya adalah mampu untuk memperhatikan karakter, sifat, dan kebiasaan orang disekitarnya. Berdasarkan observasi yang saya lakukan dengan spontan, ternyata lumayan banyak juga teman-teman saya yang menjadi anti sosial karena ketika mereka berpendapat pada suatu berita maupun suatu issue, selalu ditanggapi dengan negatif dan lawan bicaranya tidak bisa diajak berdiskusi untuk brainstorming. Akhirnya mereka menjadi lelah dan muak dengan kondisi seperti itu dan ujungnya berhenti untuk menanggapi sebuah berita dan hanya membagikan apa yang terjadi di dalam hidupnya saja. Hal tersebut sebenarnya wajar dan manusiawi. Kalau orang Jawa bilang sing waras ngalah. Namun pada kadar emosi tertentu bisa saja seseorang itu menjadi ngalih. Bentuk ngalih-nya itu pada isu-isu yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Misalnya bentuk ngalih-nya itu membagikan hal-hal unik dalam kehidupan seperti desain rumah minimalis, resep masakan, atau video yang menghibur penontonnya.
b. Faktor Penyebar Berita Kurang Kajian
Semakin tingginya informasi yang dibagikan, maka semakin besar juga peluang informasi itu bisa diterima. Frekuensi penyebaran informasi yang tinggi mempengaruhi sudut pandang seseorang pada suatu hal. Contohnya, ada banyak kanal online yang menyebarkan keharaman suatu produk kopi untuk digunakan seorang Muslim karena mengandung zat yang haram untuk dikonsumsi, padahal sudah jelas ada label Halal dari Majelis Ulama Indonesia. Disinilah letak faktor kurang kajiannya, ketika informasi itu disebar tentunya ada yang menerima, ada juga yang tidak percaya begitu saja dan melakukan penelusuran untuk mencari kebenaran atas berita tersebut yang akhirnya bisa membantah berita yang tersebar sebelumnya. Pada titik ini, biasanya akan malu terhadap apa yang disebarkannya dan ini menciptakan dua pilihan pada diri si penyebar berita HOAX tersebut. Kemungkinan pertama, dia akan menerima dan meminta maaf atas berita HOAX yang disebarkannya, minimalnya mereka yang menyebar HOAX akan membisu seribu bahasa setelah mengetahui bahwa berita yang disebakannya HOAX. Kemungkinan kedua dia akan bertahan dengan apa yang telah dia sebarkan, itulah yang berbahaya dan akan menghinakan dirinya sendiri. Sehingga orang yang menaggapinya akhirnya menjadi anti sosial di media sosial dan tidak mempedulikan lagi pada apa yang terjadi di dunia sekarang ini.
Saya pribadi nyaris menjadi anti sosial setelah banyak hal yang saya lihat dan baca di media sosial tentang bagaimana seseorang dalam menanggapi sebuah berita. Namun pada akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak bisa mengontrol apa yang orang pikirkan dan sampaikan mengenai diri saya atau terhadap sebuah berita. Sayapun juga tidak bisa membuat semua orang puas dengan apa yang saya lakukan maupun sampaikan. Itulah manusia, punya banyak kekurangan dan rasa ketidakpuasan atas segala hal. Dalam situasi seperti ini seharusnya kita saling membuka pikiran untuk menerima segalanya sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita yang mungkin sudah terlupakan banyak orang, yaitu gotong royong. Kita bangun sama-sama bangsa ini dengan merendahkan ego kita.
Tuhan tidak akan membuat hambaNya miskin, Tuhan selalu akan memperkaya dan mencukupkan hambaNya. Berapapun yang kita hasilkan dari pekerjaan atau usaha akan mencukupi kita untuk hidup, bukan untuk memenuhi gaya hidup. Ketika hambaNya sudah cukup, seharusnya kita sadar kalau kita mampu bergandengan tangan, saling menguatkan, dan bergotong royong untuk membangun bangsa dan bukan sebaliknya saling mencela dan menjatuhkan dengan informasi yang ada dan akhirnya kita dipecah-belah hanya karena informasi yang disebarkan melalui media sosial. Apa hal seperti itu yang dikehendaki oleh rakyat yang bangsanya sebesar ini? Saya pikir tidak, kita terlalu besar dan kaya untuk digoyahkan dengan informasi dan media sosial. Justru dengan adanya informasi dan media sosial bisa menjadi sarana untuk menemukan solusi dan tindakan terbaik dalam membangun bangsa bersama-sama dari semua elemen. Inilah yang seharusnya kita capai dari adanya informasi dan media sosial, saling menguatkan dan melengkapi. Jadi marilah kita berhenti mengutuk kegelapan dengan memulai tindakan untuk menciptakan cahaya, walaupun hanya sekedar menyalakan lilin.
0 komentar:
Posting Komentar