Senin, 17 Agustus 2015

Memerdekakan Yang Merdeka

ilustrasi : frpeterpreble.com

Menurut KBBI, memerdekakan berasal dari kata merdeka yang berarti bebas (baik itu dari penghambaan atau penjajahan). Memerdekakan sendiri menurut KBBI berarti menjadikan merdeka, membebaskan diri, dan melepaskan diri dari penjajahan. Namun apakah merdeka yang kita peroleh sekarang ini dari para veteran dan para pendahulu kita telah memerdekakan bangsa ini?

Merdeka itu kamu, iyaa.. kamu...

Kamu hidup secara bebas dan bisa menentukan arah kehidupan kamu sesuai dengan kehendak diri kamu. Diriku juga begitu, bebas menentukan pilihan hidup tanpa harus ada intervensi dari siapapun untuk menjadi diri sendiri atau berbeda dengan kebanyakan orang. Namun apakah kemerdekaan atau kebebasan ini telah kita manfaatkan sebaik mungkin untuk mengarahkan diri sendiri agar masing-masing kita yang merdeka ini bisa berbuat lebih banyak untuk bangsa dan negara? atau kita hanya mengikuti arus kehidupan saja sembari mengharapkan ada durian runtuh dari langit?

Masalah Besar Sebuah Bangsa Adalah Kesenjangan Antar Generasi

Entah mengapa aku sering melihat banyak anak-anak dan teman-temanku sendiri dibiarkan hidup begitu saja mengikuti arah dan tidak diarahkan oleh orang tuanya. Padahal, 80% pendidikan anak itu diperoleh dari lingkaran pertamanya, yaitu rumahnya sendiri. Hal tersebut terjadi karena adanya pesan yang tidak tersampaikan dengan baik antara anak ke orang tua maupun sebaliknya. Aku sendiri mengalami bagaimana hal itu bisa terjadi. Contohnya saja ketika aku disuruh membawa pulang sebuah rantang dari kantor ibuku. Ketika pulang rantang itu aku taruh di tempat cuci piring. Aku berpikir kalau aku taruh disitu si mbak nanti pas datang bisa langsung mencucinya. Setelah ibu pulang dan melihat posisi rantang tersebut ada di dekat rak piring, dia langsung memarahi saya dan bilang ini rantang untuk menghangatkan damn tidak boleh dicuci. Untungnya disatu sisi si mabk hanya menaruhnya saja di rak piring. Padahal perintah ibu ketika menyuruh saya hanya bawa pulang dan ketika saya tanyakan ini mau diapakan rantangnya dan ditaruh dimana? Ibu vbhanya bilang taruh saja ditempat biasa kamu taruh sisa makanan... jreng jreeng..

Contoh berikutnya adalah ketika aku memiliki gadget, maka aku pastikan aku otak-atik supaya mengerti cara menggunakannya dan tidak merepotkan orang. Kalau bingung tinggal buka buku panduan atau cari lewat si Mbah Google. Ketika ibu punya gadget, jreng jreeengg.... Aku harus mengajarinya secara perlahan, mejawab segala pertanyannya, dan mejelaskan fungsi tombol home itu untuk apa dan tombol volume naik dan turun juga berfungsi untuk fungsi yang lainnya seperti mengambil gambar dari layar atau screen capture

Titik tekan yang ingin aku sampaikan adalah kita sebagai generasi muda yang melek gadget ini ternyata sering kontra dengan generasi yang lebih tua diatas kita. Kita mungkin menganggap mereka feodal atau ekstrimnya mereka itu monster, feodalis, takut menghadapi perubahan, bicaranya satu arah, lama mengambil keputusan, lamban. Namun mereka sebaliknya juga melabelkan kita sebagai orang yang one man show, menjadikan diri sendiri sebagai pusat peradaban kita, narsistik, sibuk sendiri, dunia kita sulit dimengerti, kita dinilai kurang gigih, kurang disiplin, dan kita juga dibilang berperilaku kutu loncat.

Huftt... Masalahnya adalah kita dididik dan dibesarkan dengan membiarkan kita mengikuti arus. Kalau hal ini dibiarkan maka institusi negara bisa rusak, inovasi kurang dan terhambat, dan manajemen tidak bisa bekerja dengan baik. Apalagi bapak menteri Anies Baswedan menyatakan dalam surat edarannya 30 tahun dari tahun ini (2015), generasi mudalah yang memimpin bangsa ini. Kemudian aku berpikir bahwa kalau anak muda dibuat menjadi pasif dan hanya bekerja berdasarkan perintah atasan atau instruksi orang tua, serta inisiatifnya dimatikan, maka apalah bedanya kita generasi muda saat ini dengan generasi yang sudah tua? Dimana mereka terbiasa bergerak dalam lingkungan yang pasti-pasti saja, statik, dan lamban. Padahal, dunia ini telah berubah menjadi amat kompetitif, dinamis, cepat, berubah, dan harus gerak serba cepat.

Waktu Berputar, Kondisi Berubah, Saatnya Berubah, (minimal) Merdekakan Dirimu Yang Harusnya Sudah Merdeka!

Anak-anak yang bisa melakukan perubahan di dunia baru itu adalah anak-anak yang terlatih mengelola ketidakpastian. Aku memiliki bakat itu, namun sayangnya kedua orang tuaku dulunya tidak berupaya mengembangkan dan mendukung bakat yang aku miliki. Hingga terjadinya konspirasi dari saudara sendiri yang menjatuhkan sang Babe. Kini saatnya aku mengajarkan mereka berdua mengelola ketidakpastian. Mengajarkan mereka keluar dari zona nyaman secara perlahan. Tahapan memerdekakan itu memang bermula dari mengelola dan mengarahkan diri sendiri, kemudian mengelola dan mengarahkan orang disekitar kita, selanjutnya mengelola dan mengarahkan perusahaan kita atau tempat kita bekerja atau mengabdi, dan yang terakhir kita mengelola dan mengarahkan bangsa kita berdasarkan peran yang kita miliki nantinya.

Yuk, Merdekakan Yang Merdeka.

Jadi, apa yang aku alami atau dialami anak-anak lainnya yang mungkin sama atau sedikit berbeda, bisa jadi pelajaran untuk kita dalam perjalanan menuju 30 tahun kemudian untuk menciptakan generasi yang tidak berorientasi kepada kesenangan yang sementara. Generasi yang dapat mengelola ketidakpastian dan berani berpendapat serta berinovasi atas gagasan yang disampaikan. Mari kita mulai dengan menjawab berbagai masalah dengan jawaban, bukan dengan masalah yang akan timbul setelahnya. Sehingga kita menjadi bangsa yang merdeka secara utuh dan tidak sebatas formalitas saja. Dirgahayu ke-70 Tahun Indonesiaku! Aku juga mohon ampun pada Tuhan atas keterbatasanku saat ini. Semoga ikhtiar ini bisa membuat aku dan kamu lebih giat dalam memerdekakan yang merdeka.


0 komentar:

Posting Komentar