Sumber : plus.google.com
Menurut STRANAS PDT (2007), Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten
yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan
daerah lain di Indonesia. Definisi ini membatasi secara administratif,
daerah tertinggal hanyalah kabupaten. Padahal ada kota yang memiliki
wilayah dan masyarakat tertinggal, tetapi tidak bisa disebut daerah
tertinggal.
Dengan definisi tersebut bisa dilihat, wilayah
tertinggal pada umumnya dicirikan dengan letak geografisnya yang relatif
terpencil, miskin sumber daya alam, atau rawan bencana alam. Wilayah
tertinggal merupakan suatu wilayah yang secara fisik, sosial, dan
ekonomi kondisinya mencerminkan keterlambatan pertumbuhan dibanding
dengan wilayah lain. Wilayah tertinggal berada di pedesaan yang
mempunyai masalah khusus atau keterbatasan tertentu, seperti
keterbatasan sumber daya alam, keterbatasan sarana dan prasarana, sumber
daya manusia, dan keterbatasan aksesibilitas ke pusat-pusat pemukiman
lainnya.
Ketertinggalan sebuah wilayah bisa dilihat berdasarkan
dua aspek, yaitu masyarakat dan wilayah yang dirinci menjadi enam
kriteria dasar (perekonomian, sumber daya manusia, infrastruktur,
kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah).
Penetapan daerah tertinggal ditentukan dengan indeks komposit dari nilai
indeks enam kriteria dasar tersebut. Jumlah penduduk miskin hanyalah
salah satu sub-kriteria dari kriteria perekonomian. Adapun desa-desa
yang terkena bencana termasuk dalam kriteria karakteristik daerah.
Di satu sisi, negara kita juga turut berpartisipasi dalam
Millennium Development Goals
(MDGs) yang merupakan paradigma pembangunan global. MDGs dideklarasikan
pada Konferensi Tingkat Tinggi Milenium yang berlangsung di New York
pada September 2000. Konferensi ini dihadiri 189 negara anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa.
Semua negara yang hadir dalam
pertemuan tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai
bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya
menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu fundamental mengenai
pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan
pembangunan.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB
mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam
beberapa tujuan yaitu :
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan;
2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua;
3. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan;
4. Menurunkan Angka Kematian Anak;
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu;
6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya;
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Namun
tantangan yang dihadapi negara kita dalam mencapai tujuan tersebut
sangat banyak. Pada umumnya, di daerah tertinggal tidak terdapat sektor
ekonomi yang bisa membawa pertumbuhan secara besar, atau yang memiliki
efek pengganda yang tinggi, yang dapat memacu pertumbuhan. Jadi
pemerintah tidak cukup hanya dengan menyediakan barang dan jasa
sebanyak-banyaknya, tapi juga harus yang dapat memberikan stimulan untuk
meningkatkan perekonomian daerah tertinggal tersebut.
Salah satu
cara yang mungkin dapat ditempuh oleh pemerintah dalam menyelesaikan
masalah daerah tertinggal adalah dengan memanfaatkan ZISWAF (Zakat Infak
Shodqoh dan Wakaf) sebagai solusinya. Dengan ZISWAF banyak sekali
keuntungan dan manfaat yang bisa diperoleh daerah tertinggal.
Kita
bisa membangun saran dan prasarana sebagai infrastruktur daerah
tertinggal seperti sekolah, perpustakaan, jalan raya, rumah sakit,
koperasi, bank, sawah, ladang, peternakan, internet, dan sebagainya.
Pada tataran inilah, maka diperlukan instrumen atau kelembagaan lain
yang dapat menjadi alternatif bagi masyarakat dalam mengantisipasi
bencana.
Untuk melaksanakan program tersebut bisa melibatkan KEMENAG Bidang Zakat dan Wakaf, BAZNAS, serta
Non Goverment Organization
yang sudah banyak menghimpun ZISWAF untuk pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, ZISWAF tidak hanya selesai pada masalah pendistribusian
yang sifatnya konsumtif, namun bisa sampai pada tahapan untuk membentuk
masyarakat yang mandiri secara ekonomi yang bersifat produktif.
Banyaknya
pihak yang bersinergi ini diharapkan bisa saling mengisi, baik itu
mengenai kebijakan publik untuk daerah tertinggal hingga sampai kepada
tata kelola pemerintahan daerah tertinggal. Mengingat peran kepala
daerah sangat strategis untuk menjadi regulator sekaligus fasilitator
untuk mensinergikan semua pemangku kepentingan.
Dengan demikian
ZISWAF barulah akan mampu mengentaskan kemiskinan bila dapat menjadi
katalisator ekonomi skala besar dengan difungsikannya peran instrumen
ini sebagai penggerak perekonomian penerima manfaat dari ZISWAF. Bila
PERDA tiap daerah ditinjau kembali agar bisa sinkron dengan RUU
Percepatan Daerah Tertinggal, maka diharapkan dapat bekerja dengan
optimal untuk kegiatan kemanusiaan dan pembangunan daerah tertinggal.
Disatu sisi juga kita bisa meringankan beban APBN dan APBD dengan
mengoptimalkan ZISWAF sebagai instrumen pendukung pembangunan daerah
tertinggal.
Ibarat kisah
Suspended Coffees Kota Naples,
Italia, ZISWAF bisa menjadi sebuah tren yang dapat mengentaskan
kemiskinan di Bumi Pertiwi. Karena konsepnya sangat sederhana sekali
dengan cara melibatkan setiap elemen masyarakat menengah atas untuk
menunaikan ZISWAF dalam membangun negara.
Alangkah indahnya jika
kesadaran masyarakat, wakil khusus masyarakat Muslim Indonesia untuk
membangun negara secara aktif melalui ZISWAF ini. Sehingga tujuan
nasional maupun internaional yang hendak dicapai melalui RUU Daerah
Tertinggal dan MDGs dapat tercapai secara bertahap. Serta bagi
masyarakat yang kurang beruntung yang ada di dalam daerah tertinggal
dapat menemukan harapan baru dan dukungan untuk hidup lebih baik lagi.
Tulisan ini telah dimuat di selasar.com pada hari Kamis, 23 Oktober 2014.