“Untuk memperoleh kebahagiaan Allah,
tidak mungkin jika kamu tidak dapat membuat orang miskin bahagia.
Pengobatan untuk penderitaan pada diri sendiri adalah membuat orang
miskin bahagia dan senang.”
(Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani)
Idul Adha yang terdiri dari dua kata itu
berasal dari bahasa Arab. Kata pertama Idul berasal dari kata
"'aada-ya'uudu-awdatan wa 'iidan" yang berarti kembali. Sedangkan Adha
adalah kata kerja yaitu "Adha-Yudhii-udhiyatan" yang berarti berkorban.
Dengan demikian, Idul Adha adalah suatu perayaan yang dilakukan oleh
umat sebagai tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan. Idul Adha
juga dikenal juga dengan Idul Qurban.
Qurban dalam bahasa Arab (Qaruba) artinya “dekat”. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah yang
artinya hewan yang disembelih pada waktu dhuha, yaitu pada saat
matahari naik. Mempersembahkan persembahan kepada Allah adalah keyakinan
yang dikenal dengan istilah “ibadah kurban”, artinya menyembelih hewan
sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tidak terasa sebentar lagi umat muslim akan merayakan Idul Adha,
sebuah ritual yang dilakukan umat muslim yang merepresentasikan
kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai Nabi Ibrahim AS dan Nabi
Ismail AS. Maka pada hari tersebut, ibadah yang paling utama adalah
menyembelih hewan kurban seperti kambing, sapi, unta, domba, yang akan
disembelih dan sebagian kecil boleh dikonsumsi orang yang berkurban dan
sebagian besar didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin. Apa
yang dapat kita lakukan dengan ketentuan ibadah ini dalam dimensi
ekonomi?
Dalam aspek sosial ekonomi, kurban menjamin keharmonisan interaksi
antara orang miskin dan orang kaya dalam bentuk perjamuan dan bukan
dalam bingkai belas kasihan. Hal ini mengajarkan nilai solidaritas
sosial dan semangat berbagi kepada sesama. Berkurban juga mempunyai
syarat yang telah ditentukan bahwa ada spesifikasi khusus terhadap hewan
yang akan diqurbankan orang kaya kepada orang miskin.
Misalnya, kambing yang sudah harus berusia satu tahun atau sapi yang
harus sudah berusia dua tahun; bebas dari cacat pada seluruh bagian
tubuh hewan kurban; tidak dalam naungan hak orang lain, misalnya kambing
tersebut digadaikan seseorang kepada kita dan kita tidak boleh
mengurbankannya; dan syarat terakhir adalah hewan kurban harus
disembelih pada waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan syariat Islam.
(Ammi Nur Baits,
http://www.konsultasisyariah.com/kriteria-hewan-kurban/) Berdasarkan
syarat-syarat tersebut, kurban tidak dalam bentuk uang untuk memenuhi
kebutuhan orang miskin, tapi bentuknya harus hewan kurban yang memenuhi
syarat-syarat tersebut.
Dalam ibadah kurban, orang yang mampu untuk berkurban memastikan permintaan (demand) bagi mereka para peternak hewan kurban untuk menghasilkan (supply)
hewan kurban tertentu. Dengan kepastian tersebut, maka permintaan akan
terus. Ibadah kurban tersebut sendiri telah memastikan bahwa peternakan
kurban selalu memiliki pasar tersendiri. Tingkat permintaan dan
penawaran menentukan volume kurban yang dipengaruhi ekonomi orang yang
mampu berkurban.
Oleh karena itu, Idul Adha memiliki potensi sangat besar untuk
menciptakan peluang perekonomian hingga ke pelosok pedesaan. Jadi, tidak
hanya bakul hewan saja yang dapat beredar keliling kampung atau brosur
ataupun proposal distributor/agen penjual hewan kurban di kota besar.
Sekarang ini juga tidak jarang ditemukan konsumen yang berburu hewan
kurban langsung ke lokasi peternakan. Tentu saja persaingan ini akan
membawa keuntungan bagi peternak dengan selisih harga yang signifikan,
dan juga pasti berbeda ketika harga ditentukan oleh tengkulak. Dengan
adanya nilai surplus ekonomi merupakan bentuk distribusi pemenuhan
kebutuhan hari raya Idul Adha dan distribusi uang dalam dinamika pasar
hewan kurban yang meliputi para pelakunya seperti peternak, agen, rumah
potong hewan kurban, dsb.
Di samping itu, kurban merupakan sebuah upaya memanusiakan manusia
dalam peningkatan gizi (kualitas makanan dan lebih luas lagi merupakan
kualitas hidup) setelah sebelumnya upaya pemenuhan kebutuhan mendasar
diserukan kepada kaum muslimin dengan zakat fitrah. Namun, seiring
dengan targetan untuk pemenuhan gizi yang diidamkan itu, secara otomatis
harus ada sebuah program pemberdayaan untuk daerah-daerah yang layak
untuk dijadikan tempat peternakan. Ibarat gayung bersambut, saat ini
sudah banyak program pemberdayaan yang ada di pedesaan.
Hal ini juga akan menjadi peluang tersendiri dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi daging baik dalam skala regional maupun skala nasional untuk
masa yang akan datang. Selain itu, bisa membuka lapangan kerja baru bagi
masyarakat setempat dengan pembinaan dan pembekalan melalui sosialisasi
serta pelatihannya. Kemudian, pembekalannya berupa modal untuk usaha
dan edukasi secara berkala mengenai hewan ternak.
Kurban tidak sekedar menjadi aset konsumtif yang habis dalam waktu
singkat, tetapi bisa diatur ke arah yang produktif. Dengan kata lain,
kurban bisa menggerakkan ekonomi rakyat secara lebih luas dan tentunya
sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Namun, sayangnya, masih
ditemukan kendala yang sifatnya doktrinal dengan menganggap bahwa
kegiatan kurban yang terjadi saat ini masih cenderung bersifat
penyantunan, membantu orang dalam waktu sesaat saja.
Kadang, kendalanya pada manajemennya. Misalnya, munculnya pendapat
bahwa daging kurban dan pembagian aset terkait hewan harus habis
dibagikan saat itu juga. Jadi, dengan adanya kendala doktrinal dan
kendala manajemen ini, dukungan ekonomi masyarakat belum bisa dilakukan
secara maksimal.
Solusi untuk yang pertama, harus ada kesepakatan bersama mengenai
sudut pandang kurban dalam aspek ekonomi. Para pemangku kebijakan serta
para ulama yang terkait hendaknya berembuk bersama untuk menyamakan
persepsi mengingat umat muslim pada masa sekarang ini sangat dinamis dan
memiliki kecenderungan multitafsir dalam memahami sebuah keterangan
yang didapat, baik itu dari Al Qur’an maupun Al Hadits.
Kemudian untuk yang kedua -mengenai kendala manajemen-, harus ada
konsolidasi dan komunikasi kepada pihak terkait yang berhubungan dengan
peternakan dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat melalui program
khusus yang dibuat pada daerah-daerah yang layak untuk menjadi
peternakan hewan kurban.
Serta adanya upaya untuk menekan jumlah impor daging supaya para
peternak lokal tetap mempunyai peluang dalam pasar hewan ternak yang
tidak terbatas hanya pada saat Idul Adha saja, tapi juga dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mudah-mudahan,
program-program pemberdayaan masyarakat dengan hewan ternak yang sudah
berjalan diharapkan bisa mandiri agar siap memasuki tahap
industrialisasi. Yang bisa dijadikan contoh dengan bentuk Non Government Organization (NGO) misalnya Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat Indonesia.
Dari ibadah kurban kita juga dapat mengambil hikmah mengenai
keikhlasan dan kerelaan. Dengan sifat sukarela dalam berkurban, hal
tersebut mencerminkan bahwa iman mempunyai peran sentral dalam rangka
mendorong pembangunan ekonomi karena volume kegiatan transaksi kurban.
Karena secara tidak langsung keimanan seseorang, baik orang kaya atau
orang yang tidak ingin berkurban diuji untuk merelakan suatu hal yang
berharga selayaknya kisah Nabi Ibrahim AS.
Oleh karena itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara, berkurban
merupakan wujud dari kesanggupan meraih cita-cita bersama, yaitu
sejahtera yang berkeadilan. Bukan kesejahteraan yang dinikmati oleh
perorangan atau kelompok tertentu. Semangat berkurban ini sangat
penting, artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah
yang lebih maju, lebih baik dan lebih sejahtera. Semangat menyembelih
hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fakir dan miskin
merupakan bentuk dari solidaritas dan tolong-menolong antara anggota
masyarakat.
Orang yang kaya harus ingat dengan titipan harta dari Allah SWT
dengan menginfakkan sebagian hartanya kepada yang miskin. Sedangkan yang
miskin akan merasakan haknya terpenuhi dan tertolong untuk bisa
menyambung hidup serta memperoleh keberkahan dan kebahagiaan di dunia
dan diakhirat kelak. Semoga kesejahteraan dapat segera kita capai
bersama-sama.
Tulisan ini telah dimuat di selasar.com pada hari Jum'at 12 September 2014.
0 komentar:
Posting Komentar