Selamat siang dan salam terobosan untuk kita semua. Setelah sekian lama penulis belum berbagi soal masalah pendidikan. Siang ini penulis ditemani laptop merk negeri tirai bambu, kemudian bersama modem merk negeri tirai bambu juga, dan sebuah media sosial yang berasal dari negeri paman sam yang berlogo burung. Akan sedikit berbagi soal pendidikan di negeri seribu danau,
yaitu negara Finlandia. Dalam sebuah kicauan yang dikicaukan ulang oleh seorang teknokrat pendidikan, saya memantau akun itu untuk menyimak "kuliah"nya. Dan ternyata "kuliah" yang dibagikan itu membuat penulis merenung dan berpikir beberapa kali untuk meresapi maksud dari apa yang disampaikan. Penasaran dengan isi "kuliahnya" berikut penulis paparkan dibawah ini, selamat menikmati.
Diawali dengan adanya pendapat dari seorang Duta Besar Finlandia dalam sesi bicaranya mengatakan bahwa Indonesia dan Finlandia punya kondisi yang berbeda, namun pasti ada yang bisa saling dipelajari. Kemudian ada pernyataan juga dari Kemendikbud dalam gilirannya untuk berbicara menyatakan Kemendikbud pernah menyatakan ingin belajar dari pencapaian Finlandia di bidang pendidikan. Maka kami susun kerja sama ini. Initinya cukuplah ramah-tamahnya sebagai jalinan hubungan diplomasi antar kedua negara (billateral) yang fokus kepada masalah pendidikan. Semoga hal ini tentunya tidak hanya sebatas studi banding dan akhirnya menimbulkan friksi yang membosankan rakyat yang menanti sebuah pendidikan yang berkualitas, yang dapat dijangkau semua golongan tanpa terkecuali.
Selanjutnya giliran Pasi Sahlberg, seorang pakar pendidikan dari Finlandia memulai dengan mengenalakan kondisi Finlandia, dia mengatakan bahwa pertama-tama ada 3 hal yang harus diketahui terlebih dahulu untuk mempelajari kesuksesan dari pendidikan di Finlandia. Pertama, Finlandia tidak dari dulu baik dalam bidang pendidikan, 40 tahun yang lalu pendidikan Finlandia belum baik. Banyak murid yang gagal. Kedua, Finlandia sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi yang terbaik di dunia. Tujuannya bukan menjadi peringkat 1, melainkan hanya ingin membangun sekolah yang baik untuk anak bangsa Finlandia. Ketiga, Finlandia juga sukses di berbgai parameter lain, seperti economic competitiveness, equity index, happiness index, dll. Setelah itu dia mengatakan bahwa tingkat korupsi di Finlandia sangat rendah. Anda pasti tahu, sangat sulit bagi sebuah negara punya mutu penddkn baik bila tkt korupsinya tinggi. Finlandia menghasilkan Angry Birds (game) dan happy people. Kemudian dia melanjutkan dengan menunjukan korelasi tingkat pendapatan masyarakat dengan pencapaian siswa. Korelasinya menunjukan tidak ada pengaruh antara tingkat pendapatan masyarakat dengan pencapaian siswa. Dia juga menunjukkan posisi Indonesia. Kesenjangan sangat tinggi, pencapaian siswa buruk.
Lalu dia memberikan 3 cara dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, fokus yang sistematis pada pengurangan keenjangan. Penulis melihat bahwa usaha ini akan emlibatan seluruh elemen menengah keatas dalam proses pengentasan kemiskinan. Dengan pengentasan kemiskinan, maka persoalan pada masalah psikologis seorang anak dalam perannya menjadi peserta didik tidak lagi terpengaruh pada hal-hal yang diluar kapasitasnya yang mengganggu peserta didik. Pada aplikasinya memang benar adanya, penulis pernah mengunjungi Masjid Terminal yang beberapa waktu lalu penulis bagikan di blog ini, disana penulis mengetahui bahwa ada anak yang dirumahnya penuh dengan masalah, dan anak itu tinggal disitu dan tidak kembali ke rumahnya. Berarti jika anak itu enjoy dengan hidupnya di lingkungan yang "terbuka" seperti itu, hal tersebut merupakan indikasi bahwa dirumahnya ada masalah yang lebih besar. Intinya, negara punya peran sentral yang berfokus pada kesetaraan lebih berhasil mengurangi pengaruh latar belakang anak terhadap performa pembelajarannya. Finlandia bergerak dari low equity, low quality menjadi highest equity, highest quality. Kesetaraan sangat berpengaruh. Hal ini juga berbanding lurus dengan pernyataan Prof. Dorodjatun Kuntjorodjakti, seorang Guru Besar dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang mengatakan bahwa jika kita bicara masalah kemiskinan, kesetaraan menjadi hal yang pasti menyertai kemiskinan karena bagaimanapun dengan kemiskinan, kesetaraan hanyalah angan-angan belaka.
Gambar 1 : Indonesia dalam Systematic focus on equity : Paling bawah (Terletak di pojok kanan bawah)
Selanjutnya cara yang kedua menurut Pasi Sahlberg adalah "Less is better : Teaching hours".
Waktu mengajar di Finlandia lebih sedikit dibanding negara lain, sekitar 2 jam lebih sedikit daripada di Amerika. Dengan kata lain waktu instruksional yang diterima siswa Finlandia jauh lebih sedikit dibanding negara lain. Karena jika Amerika saja menerapkan 6-7 jam pelajaran yang waktunya antara 45 hingga 55 menit tiap satu jamnya, berarti negara lain juga mayoritas setara dengan masalah jam pelajaran dan Finlandia hanya 4-5 jam pelajaran saja. Guru punya waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain selain mengajar dan siswa punya waktu lebih banyak selain di kelas. Guru juga tidak memberikan pekerjaan rumah pada anak-anaknya. Menurut penulis, sebuah hal yang pantas jika hal itu diterapkan di Indonesia, namun bukan berarti penulis sepenuhnya sepakat untuk meniadakan PR, hanya saja PR ini butuh inovasi dalam penerapannya. Karena dengan tidak memberikan pekerjaan rumah, peserta didik sudah mendapatkan aktualisasi diri yang lebih, mengingat jam belajar siswa yang tinggi, tentunya dengan jam dan pelajaran yang ada bisa dibentuk suatu FGD (focus group discussion) yang membahas sebuah permasalahan yang sedang dipelajari, kelompok pertama menyajikan, dan kelompok yang kedua dan lainnya memberikan tanggapan atas pengamatan dan observasi berdasarkan standar tertentu. Artinya tidak serta merta peserta didik bebas setelah belajar disekolah, karena mereka akan dengan sendirinya mencari dan belajar tanpa harus "diberikan bekal tambahan dari sekolah untuk dikonsumsi dirumah" sebagai pengulangan pada apa yang dipelajari disekolah.
Waktu mengajar di Finlandia lebih sedikit dibanding negara lain, sekitar 2 jam lebih sedikit daripada di Amerika. Dengan kata lain waktu instruksional yang diterima siswa Finlandia jauh lebih sedikit dibanding negara lain. Karena jika Amerika saja menerapkan 6-7 jam pelajaran yang waktunya antara 45 hingga 55 menit tiap satu jamnya, berarti negara lain juga mayoritas setara dengan masalah jam pelajaran dan Finlandia hanya 4-5 jam pelajaran saja. Guru punya waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain selain mengajar dan siswa punya waktu lebih banyak selain di kelas. Guru juga tidak memberikan pekerjaan rumah pada anak-anaknya. Menurut penulis, sebuah hal yang pantas jika hal itu diterapkan di Indonesia, namun bukan berarti penulis sepenuhnya sepakat untuk meniadakan PR, hanya saja PR ini butuh inovasi dalam penerapannya. Karena dengan tidak memberikan pekerjaan rumah, peserta didik sudah mendapatkan aktualisasi diri yang lebih, mengingat jam belajar siswa yang tinggi, tentunya dengan jam dan pelajaran yang ada bisa dibentuk suatu FGD (focus group discussion) yang membahas sebuah permasalahan yang sedang dipelajari, kelompok pertama menyajikan, dan kelompok yang kedua dan lainnya memberikan tanggapan atas pengamatan dan observasi berdasarkan standar tertentu. Artinya tidak serta merta peserta didik bebas setelah belajar disekolah, karena mereka akan dengan sendirinya mencari dan belajar tanpa harus "diberikan bekal tambahan dari sekolah untuk dikonsumsi dirumah" sebagai pengulangan pada apa yang dipelajari disekolah.
Kemudian yang ketiga adalah peningkatan profesionalisme guru, yang mana dalam hal ini berkaitan dengan pengembangan profesionalisme diri, peningkatan kualitas, dan metode pembelajaran. Disini Pasi Sahlberg kembali berbagi soal kualitas/kompetensi invidu, dia mengatakan bahwa keponakannya cerdas, suka dengan anak-anak, melamar jadi guru ditolak karena ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia lebih memilih menjadi guru SD daripada menjadi dokter. Menurut penulis, sebuah hal yang lumrah jika pertanyaan tersebut dilayangkan pada seorang calon guru, karena dengan hal itu kita dapat mengetahui apa saja yang akan dijalaninya kedepan sebagai seorang guru nantinya, apakah berdasarkan pada standar, atau diatas rata-rata dengan inovasi yang diberikan pada proses belajar-mengajar dikelas nantinya. Selanjutnya Pasi Sahlberg menerangkan bahwa selama 30 tahun terakhir, human capital guru-guru Finlandia hanya dinaikkan sedikit, namun social dan decisional naik tinggi. Karena guru-guru di Finlandia telah diberikan tiga hal penting, yaitu Freedom, Autonomy, Trust. Lebih lanjut lagi dia menampilkan karikatur fauna yang sedang diuji untuk naik pohon, lalu dia memberikan beberapa analogi dari fauna yang ada. Dia mengatakan bila ikan diuji dengan ujian naik pohon yang sama dengan monyet, ikan akan merasa dirinya bodoh. Kita harus ubah ini. Intinya adalah pelajaran penting lainnnya adalah ajari siswa berkolaborasi sebelum kompetisi! standardized test hanya mendorong kompetisi siswa, karena anak-anak butuh "bermain" dan berperan sebagai "pemain".
Gambar 2 : Pasi Sahlberg mrnunjukan karikatur fauna yang diuji untuk memanjat pohon
Dengan berakhirnya 3 hal yang dikemukakan pakar pendidikan dari Finlandia Pasi Sahlberg tadi maka berakhir juga sesi pertama dalam Simposium Pendidikan Indonesia. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari pemaparan Mr. Pasi yang telah penulis kemukakan dengan menambahkan pandangan dari penulis. Bahwasanya janganlah berfokus pada kemiskinan saja, namun berfokuslah pada kemiskinan dan kesaetaraan. Dengan kesetaraan tidak akan ada lagi "kesejahteraan yang semu", dengan adanya suatu niat yang baik, maka proses yang akan dijalanin juga akan baik. Kemudian jika kita hanya berfokus pada kompetensi yang berdasarkan pada aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik seharusnya kita bisa memberikan lebih pada standar yang ada. Dengan memberikan lebih dari standar yang ada maka hasilnya juga pasti akan menerima lebih dari standar yang seharusnya. Peran dari guru juga sangat strategis dalam memberikan pelayanan yang optimal dalam proses belajar-mengajar, terbukti dengan tingginya social dan decisional dari pada human capital karena mengedepankan interaksi yang baik dari dua arah yang berbeda yang tentunya mendorong siswa untuk melakukan ekplorasi lebih pada apa yang didapat. Kiranya dengan ini dapat membentuk etos kerja yang baik nantinya pada siswa di masa siswaitu belajar, dan tentunya di masa depannya
0 komentar:
Posting Komentar