Selasa, 30 April 2013

Pendidikan yang Mendorong 2 : Mendorong Prosesnya, Tapi yang Keluar Lain?


Sudah lama saya tidak menulis lagi, kali ini saya ingin berbagi kembali tentang masalah pendidikan. Pada judul diatas, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk sejenak merenung apakah proses KBM yang kita lakukan di kelas itu sudah efektif atau belum, jika sudah maupun belum, mari kita lihat lagi "diri" kita untuk mengukur sejauh apa kemampuan kita dalam atau akan melaksanakannya.

Ok, kita mulai ceritanya. Suatu hari ada seorang Doktor dari Jepang yang sharing pada kami selaku penuntut ilmu daripadanya. Dia bercerita pengalaman temannya yang kurang lebih seperti ini pada kami, dan beginilah ceritanya :
"Tidak terasa 17 tahun sudah waktu berlalu sejak saya berdiri
tegak di hadapan para "kyojukai" Graduate School of Biosphere
Sciences, Hiroshima University untuk mempertahankan hasil
penelitian selama kurang lebih 6 tahun. Ketika menyelesaikan
Master dan Ph.D Course dan berhak untuk mendapatkan gelar M.Sc
serta Ph.D, saya mendapatkan tiga lembar dokumen, dokumen 1
adalah "Sotsugyo-sho", Sertifikat penghargaan berbahasa Jepang,
dokumen ke 2 adalah Sertifikat kelululsan dalam bahasa Inggris
dan dokumen yang ke 3 adalah transkrip nilai mata kuliah yang
saya ambil selama mengikuti Master Course dalam bahasa Inggris.
Jumlah dokumen yang sama, saya terima juga untuk Ph.D Course.
Yang menarik keseluruhan mata kuliah yang saya ambil mendapat
nilai A. Penilaian mata kuliah hanya dalam huruf A yang berarti
Excellence, B berarti Good dan C berarti Passable. Tidak ada
penilaian tidak lulus. 
Beberapa hari kemudian, saya menghadap ke Professor pembimbing
saya dan memberanikan diri untuk mengajukan “protes” kenapa
nilai-nilai saya semuanya Excellence padahal, saya sadar betul
kemampuan saya dalam mengikuti beberapa mata kuliah yang
pengantarnya bahasa Jepang tidak begitu bagus untuk tidak
mengatakan sangat jelek. Penerimaan saya terhadap mata
ajaran yang diberikan tidak lebih dari 20%. Sempat terlintas
pikiran jelek saya yang mengamini asumsi sementara orang
bahwa sekolah di Jepang sangat mudah, yang penting tidak
neko-neko, datang pagi dan pulang malam, akhirnya juga
akan menjadi Doktor. Saya sempat berpikir, Apa tidak
salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan
kesungguhan? Kalau dengan upaya begini saja sudah diberi
nilai tinggi, saya khawatir saya cepat puas diri. Sewaktu
saya protes, Professor saya mengatakan, di Jepang kami
tidak sulit memberi nilai karena filosofi kami mendidik
bukan untuk mendapatkan hasil tertinggi yang dikuantifikasi
dengan mengkotak-kotakkan kemampuan seseorang. Filosofi
kami mendidik adalah untuk mengenal dan melakukan proses
penemu-kenalan mencari kebenaran ilmiah. Selama proses
menuju tujuan kebenaran ilmiah yang dilakukan sesuai kaidah-
kaidah yang disepakati, angka tidak menjadi penting. Filosofi
mendidik kami adalah filosofi gekirei, filosofi mendorong

Percakapan saya dengan Prof. Kenji Namba di tahun ke 3 saya
di Hiroshima merupakan sebuah titik balik yang penting bagi
hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya melihat
angka dan nilai. Dari “acara protes” itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain
menurut ukuran kita. Teringat di benak saya betapa mudahnya saya
mendapatkan nilai A dari Master dan Ph.D Course. Pada sisi
yang lain di Indonesia, saya melihat sulitnya menyelesaikan
studi S2 dan S3. Para penguji (kyojukai) siap menerkam dan
menyerang dengan pertanyaan di luar konteks penelitian dengan
alasan untuk menguji wawasan keilmuan para calon Master dan
Doktor. Ada ketidak percayaan diantara penguji dan calon tentang
kapabilitas dan proses yang dilakukan oleh para calon. Mungkin
inilah penyebab mengapa para penguji mengeluarkan pertanyaan
untuk menguji apakah penelitian ini benar-benar dilakukan sendiri,
sehingga semangat gekirei untuk mendapatkan ilmu baru jauh
panggang dari api. Yang terjadi malahan “perang” konfirmasi.
Tidak ada proses gekirei, yang ada proses ketidakpercayaan
dan menekan si calon yang hasilnya bisa diduga, kelulusan
rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat
betul. Belakangan saya mengerti bahwa orang yang tertekan
ternyata saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Semangat gekirei ini terlihat ketika pertama kali saya
mempresentasikan hasil penelitian di Annual Symposium
of Fisheries Science di Tokyo tahun 1992. Butuh waktu
sebulan untuk berlatih mempresentasikan hasil penelitian
dengan waktu yang terbatas. Berhubung pertama kali presentasi
di depan ahli-ahli perikanan se Jepang, ada rasa takut yang
bercampur dengan ketidakyakinan untuk memberi yang terbaik.
Walaupun begitu saya tidak merasa menjadi terdakwa ketika
tidak bisa menjelaskan pertanyaan yang diajukan para ahli ini,
karena bagaikan seorang pembela, Professor saya berdiri tegak
dan mengatakan mahasiswa bimbingan saya ini tahu apa jawabannya
tetapi masih terkendala dengan bahasa. Dan semua peserta
bertepuk tangan untuk memberi apresiasi kerja penelitian saya.
Begitu selanjutnya di acara-acara symposium, peran pembela dari
Professor mulai dilepaskan secara perlahan-lahan dan akhirnya
menjadi sparring partner yang baik dalam berdiskusi. Pelajaran
dari ini semua bahwa melakukan gekirei dengan menerapkan
prinsip-prinsip Continous Quality Improvement."
Dari cerita diatas, sungguh hati-hati kami tergugah dan sempat juga diam tanpa kata karena merenungi proses yang terjadi. Dengan konsep Gekirei inilah mengapa banyak anak-anak yang berpikiran maju disana. Karena guru-guru mereka mendorong dan terus mendorong proses pada setiap anak, ada keyakinan pada guru-guru mereka bahwa setiap anak itu berbeda dan perbedaan itulah yang membuat mereka istimewa.
Jika kita lihat negeri kita ini, tentunya ini sangat berbeda, dimana kualitas guru saja masih dipertanyakan dan diuji dengan berbagai tes atas dalih peningkatan kompetensi dan mutu dari seorang guru dengan imbalan sertifikasi yang menjanjikan uang belasan bahkan puluhan juta yang tidak jelas dan tidak ada kepastian kapan cairnya ke rekening guru-guru yang mengalami proses seertifikasi serta memenuhi persyaratan sertifikasi itu, kemudian juga muridnya diuji dengan sistem-sistem yang tidak karuan dan sering belepotan hasil pelaksanaannya, sampai-sampai itu dianggap sebuah momok menakutkan dan dilengkapi dengan teori konspirasi dengan model teror of the bocoran yang simpang siur harga dan kuncinya karena kodenya berbeda-beda dan hanya barcode yang terpampang di soalnya pada peserta yang akan mengalaminya, yaitu UN, atau ujian nasional. Di satu sisi saya percaya satu hal, guru-guru dan orang-orang yang ada di dalam dunia pendidikan itu bukanlah sembarang orang. Mereka adalah orang-orang terpilih untuk menunaikan tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia agar mengharumkan bumi ibu peretiwi ini. Namun yang saya sayangkan adalah sistem yang ada sekarang ini belumlah menjadi penunjang terhadap gagasan dan kebijakan yang diambil. Inilah kenapa saya bilang dijudul saya mendorong prosesnya tapi yang keluar lain.
Menariknya masalah ini adalah masalah kultur yang terus mengakar dan ujung-ujungnya balik ke masalah mentalitas, janganlah sistem yang tidak baik ini terus berlanjut, kita perlu banyak perubahan yang memang memakan waktu, namun yakinlah bahwa perubahan yang kita lakukan itu tidak membohongi kita pada hasilnya, terkecuali ada konspirasi tertentu. Dari carut marut itulah timbul individualisme, timbul ketika orang-orang yang berkecimpung didalamnya sudah hilang kendali, kepercayaan. dan batasan dimana dia harus bertindak dan apa saja hal yang harus diupayakan untuk bangsa ini. Apalagi jika harus mengimplementasikan Gekirei, bisa dipastikan gekirei itu sudah tidak ada lagi dibenak idealisme mereka. Jadi wajar saja jika banyak guru-guru sekolah yang saya temui mereka mengatakan ingin sekali UN diganti lagi jadi EBTANAS, karena guru yang memahami proses belajar murid-muridnya dan merekalah yang menentukan lulus atau tidaknya peserta didik mereka. Kontan saya bilang saja begini, "bisa ribut lagi itu bu, kalau diganti lagi, ribut lagi soal undang-undang, ribut lagi konsolidasi dan sosialisasinya, dan ribut lagi deh anggarannya. Hahaha.."
Ok, kita cukupkan membicarakan masalah sistemik pemerintahan yang mengecewakan itu. Oleh karenanya, agar terbentuknya mentalitas Gekirei, mari semuanya kita bentuk karakter kita dan generasi kita selanjutnya sedini mungkin, karena dari keluargalah akar mentalitas individu itu terbentuk. Mari mendidik anak-anak didik kita dengan studi kasus yang membuatnya berpikir untuk membedakan mana yang baik dari yang terbaik untuknya, bukan dengan cara memukulnya agar anak menentukan hasil yang baik menurutnya karena keterpaksaan. Biarlah semua proses ini berjalan, Capek? Lelah? Lemah? Letih? Lesu dan lain sebagainya, itulah nikmatnya, dan disanalah kejujuran dari sebuah proses akan terlihat. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

menurut saya, proses lebih penting daripada hasil. hasil adalah akibat. celakanya di sini, hasil lah yang dinilai dan dihargai

Posting Komentar