Jumat, 08 Juli 2016

Berdakwah Sambil Menjonru: Antara Meluruskan dan Menghakimi

Pada hari ini, Jum'at 3 Syawal 1437 Hijriyah atau 8 Juli 2016 Masehi, saya memperoleh sebuah catatan terhadap cara berdakwah yang disampaikan oleh salah satu Imam masjid. Imam masjid ini terkenal dengan gaya berdakwah yang keras dan menghakimi. Disini saya tidak akan menyebutkan nama imamnya, nama masjidnya, ormas yang menjadi basis masjidnya, dan dimana lokasinya. Saya hanya ingin berbagi sebagai catatan dan refleksi bagi saya pribadi dan para pembaca sekalian bahwa cara berdakwah tersebut sudah ketinggalan zaman dan perlu di revolusi.


Dalam khutbahnya sang Imam mencoba mengkritik cara ibadah yang tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Pada awalnya, sang Imam mengkritisi praktek ibadah yang menyimpang dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian sang Imam juga mencoba untuk mengkritisi pemberitaan bahwa ada jama'ah yang melaksanakan sholat tarawih yang berjumlah 23 rakaat yang dilaksanakan hanya dalam waktu tujuh menit. Awalnya sampai disini kondisi masih terkendali dan saya masih bisa memahami dan menghormati apa yang disampaikan sang Imam dalam khutbah Jum'atnya.

Namun lama-kelamaan cara khutbahnya perlahan namun pasti menjadi liar dengan menyatakan bahwa praktek-praktek ibadah seperti mengadzankan mayat pada saat sebelum masuk liang lahat itu haram hukumnya dengan nada yang tinggi. Kemudian juga sang Imam menyampaikan bahwa dikuburan tidak boleh Yasinan karena tidak dicontohkan oleh Nabi dan sekali lagi dia bilang haram dengan nada yang tinggi. Disinilah permasalahannya, dia memberikan intonasi yang tinggi terhadap sesuatu yang dimana masyarakat ini perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman lebih lanjut, bukan pada penghukuman yang lebih ditekankan dan justru hal ini terjadi.

Setelah melakukan hal tersebut, sang imam terkesan seakan-akan dia ini sedang menghakimi cara beribadah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga terjadilah bentuk protes dari beberapa orang yang tersinggung. Mungkin orang-orang tersebut merasa sang Imam sedang melakukan penghakiman dan pembantaian pada diri mereka. Protes yang dilakukan beberapa orang itu dengan cara mengatakan Amin saat sang Imam berkhutbah. Setelah kejadian itu sang Imam berkata begini: "Jika bersuara saat khutbah Jum'at maka batal ibadah jum'atnya! Lebih baik pulang saja ke rumah! Tidak perlu melanjutkan ibadah jum'at disini!" Dalam hati saya hanya beristighfar dan "berkata ya Tuhan, kalau cara dakwahnya seperti itu siapa yang mau mendengarkannya dan menyerap ilmu dari khutbahnya. Apalagi sang Imam ini sudah manula dan untuk berdiri saja sudah sulit".

Setelah sholat jum'at selesai, jama'ah yang ada di dalam masjid kondisinya diam dan berdo'a. Namun terdengar percakapan yang pelan namun intensif di teras dan halaman masjid. Percakapan itu terjadi karena kejadian tersebut. Rata-rata yang saya dengar pendapat para jama'ah itu ada di tengah-tengah. Tidak terlalu menyalahkan sang Imam ketika mengkritisi praktek yang disampaikan dalam khutbahnya namun mengkritisi "kekerasan" ceramah dari sang Imam yang belum menjelaskan secara terperinci dari latar belakang kenapa praktek ibadah yang menyimpang itu ada di masyarakat selain hanya menyatakan karena banyaknya aliran pada perkembangan Islam saat ini.

Saya pribadi jika diminta menanggapi kejadian tersebut, saya akan mengatakan bahwa sang Imam belum mengemban tugasnya dengan baik. Sang Imam hanya menggugurkan kewajibannya sebagai mubaligh dengan memaksakan logika feodal dan konservatifnya kepada jama'ah yang hadir saat tadi sholat Jum'at. Dia hanya bisa mengharamkan suatu hal berdasarkan dalil dan hadis yang shohih. Dia belum bisa menjelaskan hubungan kausalitas sebab-akibat dari suatu perkara yang terjadi dan mengapa suatu hal tersebut menjadi syubhat (tidak jelas) atau menjadi haram berdasarkan logika berpikir pada umumnya. Intinya cuma bisa bilang "Pokoknya Dalilnya ya Begini!", kemudian "Pokoknya Hadis Riwayatnya Begini! Ini shohih Hadisnya!". Saya rasa bukan hanya sang Imam saja yang suka memperlakukan orang seperti itu, namun banyak guru agama dan orang tua yang mengajarkan agama pada anaknya dengan cara seperti itu juga. Dimana mereka hanya mengajarkan dengan berbasis dogma dan dalil saja tanpa dapat menjelaskan perkara suatu hal dengan baik, tentunya dengan berbagai sudut pandang. Kalau ditanya kenapa saya bisa berpendapat seperti itu, saya punya alasannya di bawah.

Jawabannya karena saya dari kecil sampai sekarang suka sholat di masjid tempat dia berada. Waktu sekolah dasar kelas empat dahulu juga saya pernah mengaji di TPA yang lokasinya samping di masjid itu sampai tamat SD. Walaupun saat kelas enam SD saya hanya sehari mengaji karena jadwal hari lain bentrok dengan bimbingan belajar yang saya ikuti. Jadi saya memilih untuk ikut bimbingan berlajar saat waktu bentrok. Terkecuali kalau Bimbingan Belajarnya sedang libur atau pengajarnya berhalangan hadir maka saya otomatis memilih ke tempat mengaji. Jadi saya tahu betul orang seperti apa yang saya hadapi pada saat setiap waktu sholat ashar tiba. Alasan lain simpelnya begini, masjid itu mudah saya jangkau dan ditambah lagi saya merupakan orang yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan paham Muhammadiyah. Kebetulan masjid itu memiliki pemahaman yang mirip dengan pemahaman yang orang tua ajarkan kepada diri saya. Jadi makmurkan saja masjid itu karena dekat rumah. Toh, saya juga bakal dapat imbas kemakmurannya juga, kan? Disitulah saya banyak mengetahui bagaimana sang Imam ini bertindak dan berbicara di depan warga sekitar dan jama'ahnya.

Oleh karena itu jawaban saya seperti di atas. Ini bukan berarti saya tidak menghargai basis masjid yang menaungi organisasi masyarakat tertentu dan pemahaman lainnya yang ada di sekitar rumah saya. Saya melaksanakan sholat tarawih ke masjid yang berbeda. Saya juga tidak memprotes apa yang diterapkan dan disampaikan masjid lainnya saat saya melaksanakan ibadah disana. Kalau ada masjid yang menggunakan do'a qunut saat sholat witir, saya tidak ikut membaca do'a qunutnya. Selama ini orang juga sholat di sebelah sayapun tidak ada yang protes atau menegur saya setelah sholat witir hanya karena saya tidak ikut baca qunut. Sekalipun pada saat itu posisi saya berada disebelah imam masjidnya langsung karena mengundang mubaligh untuk ceramah yang sekaligus mengimami sholat tarawih dan witirnya.

Bangkitnya Wabah Men-jonru Dikalangan Mubaligh

Siapa yang tidak kenal dengan Bapak Jonru? Saya rasa para netizen sudah akrab dengan sosok Bapak Jonru. Dimana sosok Bapak Jonru ini adalah sosok terdepan yang sering mengkritik Bapak Presiden Joko Widodo dan Bapak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama. Ketika Bapak Jonru memposting kritikannya kepada dua orang tersebut, tentunya ada yang sepakat dan tidak sepakat dengan dirinya. Bapak Jonru kerap mengkritik keras dua orang tersebut atas kebijakan maupun tindakan dua orang tersebut. Hal tersebut dia lakukan karena dahulu dia sering mendapat cibiran dari netizen yang mendukung dua orang tersebut karena dia merasa benar atas kritiknya tapi dia malah di-bully.

Bapak Jonru ini seakan-akan menjelma menjadi hakim yang dibutuhkan oleh para pengikutnya yang juga tidak suka terhadap dua orang tersebut dengan cara membagikan postingan yang dibuat oleh bapak Jonru yang dimana postingan Bapak Jonru berisi komentar pedas dan kebencian terhadap dua orang tersebut. Di satu sisi Bapak Jonru juga bukan seorang pejabat atau mantan pejabat. Saya pribadi melihat Bapak Jonru sebenarnya adalah orang yang memiliki kecerdasan yang baik. Namun dia memiliki respon berpikir jangka pendek. Dimana emosi memiliki kecenderungan dalam pola berpikir jangka pendek. Sehingga dia suka mencibir dengan kecendrungan tinggi mendekati fitnah. Saya melihat setiap postingannya yang disebarkan oleh beberapa teman saya di media sosial yang dimana saya mengetahui bahwa mereka memiliki kecenderungan berpikir jangka pendek juga. Seiring berjalannya waktu fenomena ini akhirnya disebut dengan men-Jonru atau Jonruing. Men-jonru ini mirip seperti kisah seorang peniup seruling dari Hamelin yang saat dia meniup serulingnya yang magis, kemudian keluar anak-anak yang mengikutinya untuk meninggalkan kota dan tidak pernah kembali lagi.

Saya pribadi melihat fenomena "Jonruing" atau "men-Jonru" yang dilakukan oleh Bapak Jonru dan pengikutnya ini identik dengan cara berdakwah sang Imam yang kita bicarakan di awal dan juga para mubaligh sejenisnya. Saya mencoba melihat fenomena ini dari dua sisi sudut pandang. Sudut pandang pertama dari mubalighnya sendiri dan sudut pandang yang kedua dari para pendengar ceramah yang disampaikan mubaligh.

Disini saya ingin mengingatkan kembali bahwa tulisan ini saya buat karena saya masih peduli dengan konsep rahmatan lil 'alamin yang Islam miliki. Tulisan ini saya buat tidak bertujuan untuk menjatuhkan harkat dan martabat para mubaligh yang men-jonru. Justru saya hanya ingin menekankan bahwa men-jonru itu perlu di revolusi. Men-jonru akan lebih bijak jika dan hanya jika dapat membekali para pendengar ataupun penonton dengan pengetahuan yang mencerdaskan dan mencerahkan logika berpikir yang banyak macamnya dari banyak kepala dan latar belakang kehidupan seseorang. Bukan dengan cara menebar kebencian dan menghakimi para pendengar atau penonton. Sehingga dapat menggerakan jama'ah kepada hal yang hendak dicapai dari ceramah tanpa menyakiti perasaan jama'ahnya.

Dari sisi mubaligh yang suka men-jonru, mungkin mubaligh berpikir bahwa dengan cara seperti memberikan dogma dengan bumbu men-jonru itu telah sesuai dengan standar operasional yang telah dipelajari dan diterapkannya sejak mereka lulus dan mulai berdakwah. Sehingga banyak mubaligh lupa bahwa zaman terus bergulir. Seiring zaman yang bergulir juga ilmu pengetahuan terus berkembang. Disinilah mereka para mubaligh yang suka men-jonru ini tidak menyadari, atau lalai, atau bahkan abai, entah itu disengaja atau tidak. Mereka ini juga tidak melihat perkembangan umat yang semakin kritis terhadap ilmu pengetahuan dan realita hidup mereka sehari-hari.

Ketika mereka ceramah, tidak jarang ada anak kecil yang mengabaikan isi ceramahnya dan anak-anak kecil tersebut atau bahkan para remaja sering kali mengabaikan apa yang disampaikan oleh para mubaligh. Ini terjadi karena muatan yang diberikan sangat eksklusif dan disainnya kompleks. Ceramah yang disampaikan belum menciptakan komunikasi dua arah. Seharusnya mubaligh yang baik dapat menciptakan ceramah dua arah. Sekalipun ceramahnya hanya disampaikan dalam kondisi pendengarnya harus diam untuk mendengarkannya. Inilah penyebab para pendengar abai terhadap ceramah yang disampaikan walaupun isi dan materinya bagus.

Kemudian dari sisi penonton atau pendengar, dimana pendengar ini harus memahami betul tujuan dari mendengarkan ceramah yang disampaikan. Selain untuk memenuhi rukun sholat Jum'at atau sholat hari raya, tentunya ceramah ini seharusnya menjadi bekal yang baik dalam menjalani kegiatan spiritual dan kehidupan sosial sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Ketika ceramah isinya hujatan tanpa solusi konkrit yang dapat diterapkan dalam kehidupan spiritual dan kehidupan sosialnya, maka para penonton dan pendengar akan mempertanyakan dan mengomentari kredibilitas dari sang mubaligh. Lebih parah lagi sang mubaligh juga akan diabaikan ceramahnya.

Sekalipun sang mubaligh merupakan korban dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan menyampaikan itu dengan pernyataan yang membabi buta menjelekkan pemerintah serta warga yang memilih pemerintahnya. Kiranya hal tersebut tidak elok dilakukan oleh orang yang berstatus mubaligh. Ini sering terjadi pada ceramah jum'at dan hari raya. 1 Syawal 1437 Hijriyah kemarin, tepatnya pukul delapan malam Waktu Indonesia Barat, saya mengunjungi rumah teman saya dalam rangka Idul Fitri dan dia bercerita kalau ada mubaligh yang men-jonru saat hari raya kemarin.

Parahnya lagi mubaligh tersebut tidak bisa membedakan Firman Tuhan dengan konteks kekinian yang hendak dikaitkan. Mubaligh itu berkata "Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib warga Jakarta, sebelum warga Jakarta itu yang mengubah nasibnya sendiri". Seharusnya mubaligh itu membacakan Fiman Tuhan terlebih dahulu, baru setelah itu mencoba mengaitkan konteks Firman Tuhan tersebut dengan kondisi kekinian warga Jakarta. Sungguh mubaligh yang bermental korban seperti itu tidak layak untuk naik mimbar. Apa yang disampaikan boleh jadi memang berupa fakta dan kebenaran. Namun setelah menyampaikan itu dengan cara men-jonru apakah para pendengar akan mengikuti anjuran maupun nasehat dari ceramahnya?

Berdakwah Dengan Eleganitas: Suksesnya Self Driver Menjadi Good Driver

Sejatinya orang yang naik mimbar itu adalah orang yang matang logika berpikirnya berbanding lurus dengan perbuatannya sehari-hari dan kehidupan spiritualnya. Sehingga apa yang disampaikan oleh mubaligh itu dapat diperbuat oleh para penonton dan pendengarnya dengan tindakan yang positif dan produktif. Apalagi tujuan dari berdakwah itu adalah menyampaikan agar orang berbuat baik untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Mubaligh berasal dari kata balagho dalam Bahasa Arab ( بلغ ) yang menjadi isim Fa’il yaitu (مبلغ) yang artinya adalah penyampai atau orang yang menyampaikan, ini berarti Mubaligh adalah pembawa ilmu yang berkewajiban menyampaikan semua ilmu yang dimilikinya.

Dari hal arti kata mubaligh saja sudah jelas bahwa menjadi kewajiban seorang mubaligh untuk menyampaikan ajaran agama dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan konteks kekinian. Ini bukan pekerjaan yang mudah, karena tanggung jawabnya di dunia dan di akhirat. Ibarat seorang supir, mubaligh adalah penentu arah ummatnya berjalan. Ada juga mubaligh yang dipercaya ormasnya, tapi baru hanya sebatas menggugurkan kewajibannya saja. Belum bisa mencerahkan dan mencerdaskan logika berpikir ummat.

Kalau supirnya ugal-ugalan yang dalam konteks ini adalah mubaligh yang suka men-jonru, yang karakternya suka mencari pembenaran atas rasa sakit hati yang diterimanya, berarti dengan men-jonru, mubaligh tersebut telah membuat jama'ah yang baik mempelajari cara mengarahkan tindakan dan kehidupannya ke arah yang buruk. Mereka akan menjadi orang yang mencari pembenaran dan senang memancing keributan.

Mubaligh yang suka men-jonru ini tidak bisa dijadikan panutan. Selain harus dihindari dan di jauhi,  mubaligh yang gemar men-jonru itu harus diasingkan terlebih dahulu untuk mengevaluasi tindakan yang telah mereka perbuat. Setelah itu diperbarui lagi dan diterapi untuk mengingat kembali tujuan mulia dari dakwah yang dilakukannya. Setelah lulus dari pembaruan dan proses terapi maka baru bisa dilibatkan kembali untuk berdakwah. Itupun kalau bisa diperbarui, diterapi, dan lulus dari prosesnya. Kalau tidak bisa maka dengan terpaksa sudah harus dipensiunkan.

Sudah menjadi kewajiban mubaligh untuk menjadi seorang "supir" yang baik. Dimana mubaligh ini merupakan seorang inisiator, tokoh perubahan, dan mampu menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Menjadi mubaligh yang elegan merupakan proses yang panjang. Mubaligh yang elegan tidak serta-merta dibentuk dari mencari ilmu dengan menggunakan mesin pencari daring dalam waktu satu malam. Bahkan yang sudah lanjut usia saja masih perlu menempa diri untuk menjadi mubaligh yang elegan. Hal itu terjadi karena kompetensi yang diperoleh dari hitam diatas putih saja tidak cukup.

Oleh karena itu para mubaligh perlu dibentuk dengan kegiatan yang mematangkan kepribadiannya. Mereka perlu berlatih cara menghadapi tantangan-tantangan baru dan menghadapi kondisi diluar zona nyamannya. Mereka juga perlu mempelajari kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif agar dapat membaca peluang dan situasi terkini, serta punya kesadaran untuk bertindak. Sehingga para mubaligh dapat memiliki kemampuan melihat suatu persoalan dengan cara-cara yang baru sehingga jadilah seorang mubaligh itu seorang inisiator atau tokoh perubahan yang disegani masyarakat luas. Tidak hanya disegani dalam jama'ahnya saja. Sehingga dapat mengarahkan umat yang dinamis dan kritis kepada tindakan dan arah yang lebih arif dan bijaksana.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat kita dalam berdakwah dan mengemban amanah ketika menjadi seorang mubaligh, yang dipercaya untuk menyampaikan Firman Tuhan dan Ilmu Pengetahuan untuk ummat demi mencapai kebijaksanaan dan keniscayaan yang diimplementasikan dalam tindakan positif dan produktif untuk memajukan bangsa dan negara. Wallahu a'lam bis-Showaab.

0 komentar:

Posting Komentar