Kamis, 22 Agustus 2013

Tes Keperawanan : Sebuah Konspirasi Klasik Negara Berkembang dan Bukan Mitos Ciptaan Patriarki

Di sore ini (22 Agustus 2013), dibuat tercengang oleh kabar yang beredar di beranda sosial media milik penulis seperti facebook dan twitter. Di beranda media sosial penulis, banyak sekali yang membicarakan soal "keperawanan". Ada apa dengan "keperawanan"?
Intinya adalah ada sebuah kabupaten di Indoneesia yang ingin menerapkan tes keperawanan untuk mengetahui tingkat prostitusi dan penyimpangan seksual yang kerap dilakukan pelajar perempuan di kabupaten tersebut.

Oooo.. ooo.. ooo.. Penulis sejenak berpikir ketika sudah membaca beberapa status dan kicauan dari beberapa orang di media sosial, kenapa ga ada tes kejujuran aja ya yang melingkupi kondisi studi siswa itu sendiri? Kayak sebuah daerah di negara Spanyol yang telah dilakukan sebuah penelitian tentang kejujuran seorang pelajar jurusan managemen keuangan sebuah Universitas yang penulis lupa apa nama Universitasnya, kemudian dalam bentuk tesnya ada uang yang disimulasikan melalui komputer dan diproses secara real time dan online sehingga privacy sangata terjamin?Lah, ini kok keperawanan yang sifatnya tabu kok di gembar-gemborin? Ini negara dibagian Asia lho. Saru' Pisan Euuyyy kalau kata orang Sunda.

Menurut pandangan pribadi penulis, mungkin isu-isu ini memang sengaja disuguhkan pada negara-negara berkembang, terutama dikawasan Asia, isu ini bukan yang pertama kalinya, kita bisa lihat isu transgender di Thailand, kemudian Geisha di Jepang, kemudian dan beberapa bentuk Human Traficking yang dikemas dalam konten semi esek-esek seperti itulah, masih banyaklah itu variannya, yang jelas itu baru sebagian kecilnya aja. Tapi yang herannya negara macam Jepang dan China maju-maju aja tuh perekonomiannya. sedangkan kenapa Indonesia belum bisa benar-benar membuntuti negara-negara macan Asia seperti mereka walaupun sudah masuk G20?

Banyak faktor kalau soal itu, yang jelas yang paling dominan adalah politic and maturity sangat berpengaruh. Ada motif-motif tertentu kenapa harus ada tes keperawanan yang dilakukan untuk masuk sekolah saja, seperti sekolah semi militer dan tesnya juga masih dipertanyakan atas keilmiahannya di zaman yang serba canggih ini. Kalaupun harus dilakukan tes, kenapa tesnya saja yang diganti menjadi dengan cara melakukan sensor seperti di rontgen pada bagian yang dibilang "daerah keperawanan" itu? Kenapa harus dilakukan tes yang "aneh-aneh" dan tidak ilmiah yang akhirnya menggugurkan tunas pemudi harapan bangsa yang punya prestasi gemilang, sangat disayangkan jika hal itu terjadi lagi.

Sebagai seorang laki-laki, penulis merasa prihatin atas fenomena yang terjadi dalam perkembangan tes keperawanan di negeri ini. Entah kenapa perempuan itu sudah seperti barang dan komoditas yang mudah diperjual belikan dengan isu-isu murahan. Kemudian seolah-olah patriarki yang jadi sumber masalahnya. Katanya negara demokrasi, tapi kok ujung-ujungnya laki-laki lagi yang disudutkan? Tidak semua laki-laki hidung belang, dan tidak semua perempuan itu "konsisten" pada jalan hidupnya. Mari kita lihat dunia barat, apakah perempuan yang membeberkan auratnya secara online itu ditentang dinegaranya? Apakah laki-laki yang berprofesi sebagai germo langsung diadili disana? Tidak saudara-saudara, semua harus dipertanyaka benar-benar pada orang yang bersangkutan. Pernyataan ini saya buat bukan berarti kita jadi orang yang bebas, namun ada kalanya kita juga harus mengindahkan norma yang berlaku sesuai dengan budaya orang Timur yang kita banggakan, kebebasan yang bertanggung jawab dan membanggakan.

Mereka yang dulunya berprofesi esek-esek juga banyak yang telah menjadi aktifis sosial saat ini, karena mereka sudah tau betapa semunya pilihan hidup yang menciptakan sesaat itu. Saat ini banyak dari mereka yang menebus "dosa masa lalunya" dengan melakukan hal-hal positif untuk dirinya dan orang banyak. Dari sinilah kita mengerti apa arti kebebasan itu, bahwa kebebasan itu adalah pilihan dari hidup para insan yang mulia, dan semuanya berpangkal dari hal yang namanya kebutuhan dan kondisi. Kita tidak bisa menyalahkan masa lalu seseorang yang genius dengan hal yang sifatnya pribadi dan mengandaskan impiannya melalui sebuah tes. Memang benar jika keperawanan itu rahmat dari Tuhan yang menandakan sebuah kehormatan, namun seandainya tes itu tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya memuliakan seorang manusia terutama seorang perempuan, maka hal itu telah melanggar norma agama dan sosial di negara ini. Kemudian bagi kalian yang mengatakan bahwa keperawanan itu mitos yang diciptakan patriarki, itu salah besar dan perlu diluruskan. Kami sangat menghormati yang namanya perempuan, dan kami memang menyadari masih banyak laki-laki yang melenceng, hal itu terjadi karena dorongan lainnya yang berasal dari perempuan juga, dan itu kembali lagi pada pilihan hidup masing-masing.

Begitulah dinamika hidup, menjadi seorang laki-laki dan menjadi perempuan itu punya tantangannya sendiri. Kembali pada tes keperawanan, opini penulis sebaiknya jangan diadakan, ini masalah harga diri dan sifatnya sangat pribadi, belum tentu juga yang perawan itu mau ga diperawanin dengan tesnya yang asal-asalan, dan yang ga perawan belum tentu juga mau sepenuhnya diperawanin dulu dan tidak sepenuhnya salah dia juga untuk tidak perawan padahal disatu sisi dia genius dan punya prestasi. Masih banyak hal yang jauh lebih besar untuk diadakan ketimbang harus mengadakan tes keperawanan untuk sebuah pendidikan yang sifatnya pribadi tersebut. Semoga negeri ini terus berkembang menuju pada arah yang lebih baik dengan tangan-tangan kita yang peduli akan kedaulatan dan martabat bangsa.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

mantab akhi...

Posting Komentar