Kamis, 14 Maret 2013

Antara Kelangkaan, Dirimu, dan Ribanya

Di suatu sore di akhir bulan Februari 2013, pada sebuah event yang ramai, ada seorang laki-laki yang menghampiri saya untuk menawarkan sesuatu. Kemudian orang tersebut menghampiri saya dan ia berkata seperti ini :

"Assalamu'alaikum mas, mau buat kartu kredit Syariah? Kita dari Bank *** Syariah, kami sedang melakukan promosi untuk meningkatkan transaksi berbasis syariah"


Sejenak saya terdiam dengan penawaran itu, namun dengan sedikit penasaran saya bilang begini. Walaupun dalam hati saya enggan untuk memiliki credit card apapun basis sistemnya, setidaknya untuk saat ini.

"Memang keunggulan kartu kredit syariah itu apa? Bedanya sama Kartu Kredit dari Bank Convensional apa, Pak?"

Kemudian laki-laki itu menjawab dengan santai "Sebenarnya sama saja mas, bedanya hanya di akadnya saja."

Kontan saya membalasnya begini, "Lah, terus sama aja donk ada bunganya dan riba juga donk jatuhnya walaupun akadnya syari'ah"

Si laki-laki tadi pun terdiam dan mencoba lagi dengan menjelaskan lebih lanjut, namun sebelum pembicaraannya selesai, untungnya ada telepon dari ibu saya. Dalam hati saya "kesempatan". Hehehe...

Ya sudah, saya bilang begini ke laki-laki itu, "Sebentar mas, saya ada telepon".

Setelah beberapa menit dari panggilan telepon yang berasaldari nomor ibu saya, saya bilang begini, "maaf mas, saya harus buru-buru, nanti kalau minat saya ke kantornya saja, Assalamu'alaikum".

Ok, "Pelarian Federal" sukses. Namun di dalam perjalanan pulang saya berpikir begini, "Seandainya sistem yang dipakai di negara ini bisa menggunakan sistem syari'ah, maka semuanya bisa stabil dan efek inflasi juga tidak terlalu terasa mencekiok."

Sembari berpikir seperti itu, saya browsing lewat smartphone dan tidak sengaja membaca artikel tentang kelangkaan Jamur Kuping, Jamur Merang, dan Jamur Shitake di kalangan petani jamur pada saat itu. Kemudian saya berpikir lagi brgini, "Nah, kan, langka lagi, naik lagi deh, ini apasich yang bikin naik terus? Inflasi sich Inflasi, tapi kenapa berasa banget ya dampaknya. Nasi Padang naik, Kebab Naik, dan lainnya juga sedikit naik harganya."

Dari situlah saya berasumsi apakah ini terjadi karena korupsi yang berkepanjangan karena tradisi dan sistemik? Atau ini terjadi karena memang sedang maraknya peningkatan konsumsi di masyarakat? Waktu itu saya menemukan artikel yang menyatakan bahwa konsumsi Indonesia naik dan itulah salah satuy faktor yang mendorong inflasi. Dan saya awalnya termakan dengan isu itu. Well, setelah termakan dengan isu itu, akhirnya saya tenang dengan asumsi bahwa harga naik, maka permintaan naik juga, sehingga terjadi kelangkaan.

Seminggu setelah itu, saya menemukan sebuah fakta yang mencengangkan dari seorang Suhu yang merengkuh Gelar Doktoral dari Jepang, dalam majelisnya dia berkata bahwa penyebab terjadinya inflasi besar-besaran itu adalah Riba. Wow! Kontan dalam hati saya bertanya bagaimana sebuah sistem perbankan bisa menciderai perekonomian nasional secara tidak langsung namun dampaknya sangat terasa. Akhirnya beliau menjawab dengan sendirinya, bahwasanya untuk pemikiran dalam bidang conventionalk sendiri, mereka berpikir perekonomian akan terus tumbuh dalam sistem yang telah ada, mereka memang tidak mengenal faktor X, dari sanalah sebuah transaksi dilakukan dari bank ke perorangan atau sebaliknya yang nantinya menciptakan keuntungan pada pihak yang meminjamkan modal.

Tidak munafik juga ketika sebuah perusahaan ingin Go Pubic namun dengan modal minim yang akhirnya meminjam di Bank Konvensional, dan tentunya pada kondisi sekarang ini yang katanya ekonomi kita sedang bagus-bagusnya. Namun seandainya jika perusahaan tersebut ingin Go Public namun dalam kondisi yang kurang baik pada perekonomian,maka bisa dipastikan perusahaan tersebut akan meminjam modal dari Bank Syariah dengan akad musyarokah, murobbahah, atau akad lainnya sesuai kesepakatan dengan prinsip bagi hasil untuk menjada segala kemungkinan yang tidak terlepas dari untung atau rugi, belum sampai pada kebermanfaatan untuk masyarakat luas.

Untuk dirimu dan dirinya, pasti percaya apa bila saya bilang begini : "Orang lebih suka akan sebuah sistem dari pada label". Ok, sepakat, sistem lebih konkrit ya. Di satu sisi memang sistem yang konkrit itu memang dibutuhkan untuk menciptakan terjadinya inflasi yang wajar, bukan inflasi yang terjadi karena banyaknya penyimpangan. Pasti juga anda semua sepakat jika sistem tersebut bisa mendorong kegiatan ekonomi pada masyarakat kelas kecil ke bawah agar tidak ada lagi kemiskinan yang sistemik karena faktor Riba yang mengakibatkan Inflasi. Sistem tersebut jelas memang syari'ah namanya. Namun pada implementasinya, syari'ah barulah hanya sebatas pada akadnya, dan sistyemnya belum murni 100% murni syari'ah. Sebuah investasi "emas bodong" sekalipun bisa menggunakan label syari'ah namun pada aplikasinya belum tentu  murni, karena sarat sekali dengan unsur spekulasi dalam perjalanannya.

Nah, sekarang jadinya gimana donk? Ya sekarang terserah saja maunya masing-masing gimana, mau menerapkan sistem syari'ah tanpa label juga bukan masalah, yang penting dampaknya dan manfaatnya bagus. kalau masih mau tetap mengunakan sistem yang sudah ada,silahkan saja, asal tau benar akan konsekuensinya. Karena perubahan itu berawal dari perorangan, kemudian jadi kelompok kecil yang berkembang jadi sebuah komunitas yang terorganisasi lalu ke negara. Selama masih adanya pemimpin yang basis sistemnya sama dengan seperti sekarang, bisa dipastikan geliat dalam melakukan sistem syariah masih belum optimal. Karena faktor kepemimpinan juga berpengaruh besar terhadap perekonomian yang di hadirkan pada sebuah bangsa. Karena salah satu ukuran peradaban sebuah bangsa bisa dilihat dari bagaimana perekonomiannya.

0 komentar:

Posting Komentar